Untuk anakku yang ku sayangi di bumi Alloh ta’ala
Segala puji ku panjatkan ke hadirat Alloh ta’ala, yang telah
memudahkan ibu untuk beribadah kepada-Nya.
Sholawat serta salam, ibu sampaikan kepada Nabi Muhammad -shollallohu
alaihi wasallam-, keluarga, dan para sahabatnya.
Wahai anakku…
surat
ini datang dari ibumu, yang selalu dirundung sengsara. Setelah berpikir
panjang, ibu mencoba untuk menulis dan menggoreskan pena, sekalipun keraguan
dan rasa malu menyelimuti diri ini.
Setiap kali menulis, setiap itu pula gores tulisan ini terhalangi
oleh tangis. Dan setiap kali menitikkan air mata, setiap itu pula, hati ini
terluka.
Wahai anakku…
Sepanjang masa yang telah engkau lewati, kulihat engkau telah
menjadi laki-laki dewasa, laki-laki yang cerdas dan bijak. Karenanya engkau
pantas membaca tulisan ini, sekalipun nantinya engkau akan remas kertas ini,
lalu engkau robek-robek, sebagaimana sebelumnya engkau telah remas hati ibu,
dan telah engkau robek pula perasaannya.
Wahai anakku…
25 tahun telah berlalu, dan tahun-tahun itu merupakan tahun
kebahagiaan dalam kehidupanku.
Suatu ketika dokter datang menyampaikan tentang kehamilanku, dan
semua ibu sangat mengerti arti kalimat tersebut. Bercampur rasa gembira dan
bahagia dalam diri ini, sebagaimana ia adalah awal mula dari perubahan fisik
dan emosi ibu.
Semenjak kabar gembira tersebut, aku membawamu sembilan bulan.
Tidur, berdiri, makan, dan bernafas dalam kesulitan. Akan tetapi, itu semua
tidak mengurangi cinta dan kasih sayangku kepadamu, bahkan ia tumbuh bersama
berjalannya waktu.
Aku mengandungmu wahai anakku, pada kondisi lemah di atas lemah.
Bersamaan dengan itu, aku begitu gembira tatkala merasakan dan melihat terjalan
kakimu, atau balikan badanmu di perutku.
Aku merasa puas, setiap aku menimbang diriku, karena bila semakin
hari semakin berat perutku, berarti dengan begitu engkau sehat wal afiat di
dalam rahimku.
Anakku…
Penderitaan yang berkepanjangan menderaku, sampailah tiba pada malam
itu, yang aku tidak bisa tidur sekejap pun, aku merasakan sakit yang tidak
tertahankan, dan merasakan takut yang tidak bisa dilukiskan.
Sakit itu berlanjut, sehingga membuatku tidak dapat lagi menangis.
Sebanyak itu pula, aku melihat kematian di hadapanku, hingga tibalah waktunya
engkau keluar ke dunia, dan engkau lahir. Bercampur air mata kebahagiaanku
dengan air mata tangismu.
Ketika engkau lahir, menetes air mata bahagiaku. Dengan itu, sirna
semua keletihan dan kesedihan, hilang semua sakit dan penderitaan, bahkan
kasihku kepadamu semakin bertambah, dengan bertambah kuatnya sakit.
Aku raih dirimu, sebelum ku raih minuman. Aku peluk cium dirimu,
sebelum meneguk satu tetes air yang ada di kerongkongan.
Wahai anakku…
Telah berlalu setahun dari usiamu. Aku membawamu dengan hatiku,
memandikanmu dengan kedua tangan kasih sayangku. Sari pati hidupku, kuberikan
kepadamu. Aku tidak tidur, demi tidurmu, berletih demi kebahagiaanmu. Harapanku
pada setiap harinya, agar aku selalu melihat senyumanmu. Kebahagiaanku setiap
saat, adalah setiap permintaanmu agar aku berbuat sesuatu untukmu. Itulah
kebahagiaanku.
Lalu berlalulah waktu, hari berganti hari, bulan berganti bulan,
tahun berganti tahun, selama itu pula, aku setia menjadi pelayanmu yang tidak
pernah lalai… menjadi dayangmu yang tidak pernah berhenti… menjadi pekerjamu
yang tidak pernah lelah… dan mendoakan selalu kebaikan dan taufiq untukmu.
Aku selau memperhatikan dirimu, hari demi hari, hingga engkau
menjadi dewasa. Badanmu yang tegap, ototmu yang kekar, kumis dan jambang tipis
telah menghiasi wajahmu, telah menambah ketampananmu, wahai anakku…
Tatkala itu, aku mulai melirik ke kiri dan ke kanan, demi mencari
pasangan hidupmu, semakin dekat hari perkawinanmu anakku, semakin dekat pula
hari kepergianmu.
Tatkala itu, hatiku serasa teriris-iris, air mataku mengalir, entah
apa rasanya hati ini. Bahagia telah bercampur dengan duka. Tangis telah
bercampur pula dengan tawa.
Bahagia karena engkau mendapatkan pasangan… karena engkau telah
mendapatkan jodoh… karena engkau telah mendapatkan pendamping hidup… Sedangkan
sedih karena engkau adalah pelipur hatiku, yang akan berpisah sebentar lagi
dari diriku.
Waktu pun berlalu, seakan-akan aku menyeretnya dengan berat, kiranya
setelah perkawinan itu, aku tidak lagi mengenal dirimu.
Senyummu yang selama ini menjadi pelipur duka dan kesedihanku,
sekarang telah sirna bagaikan matahari yang ditutupi oleh kegelapan malam.
Tawamu yang selama ini kujadikan buluh perindu, sekarang telah tenggelam, seperti
batu yang dijatuhkan ke dalam kolam yang hening, dengan dedaunan yang
berguguran, aku benar-benar tidak mengenalmu lagi, karena engkau telah
melupakanku dan melupakan hakku.
Terasa lama hari-hari yang ku lewati, hanya untuk melihat rupamu.
Detik demi detik ku hitung demi mendengar suaramu. Akan tetapi penantianku
seakan sangat panjang. Aku selalu berdiri di pintu hanya untuk menanti
kedatanganmu. Setiap kali berderit pintu, aku menyangka bahwa engkaulah orang
yang datang itu. Setiap kali telepon berdering, aku merasa bahwa engkau yang
akan menelponku. Setiap suara kendaraan yang lewat, aku merasa bahwa engkaulah
yang datang.
Akan tetapi semua itu tidak ada, penantianku sia-sia, dan harapanku
hancur berkeping. Yang ada hanya keputus-asaan… Yang tersisa hanya kesedihan
dari semua keletihan yang selama ini ku rasakan, sambil menangisi diri dan
nasib yang memang ditakdirkan oleh-Nya.
Anakku…
Ibumu tidaklah meminta banyak, ia tidaklah menagih padamu yang
bukan-bukan.
Yang ibu pinta kepadamu:
Jadikan ibumu sebagai sahabat dalam kehidupanmu.
Jadikanlah ibumu yang malang ini sebagai pembantu di rumahmu, agar
bisa juga aku menatap wajahmu, agar ibu teringat pula dengan hari-hari bahagia
masa kecilmu.
Dan ibu memohon kepadamu nak, janganlah engkau pasang jerat permusuhan
dengan ibumu.
Jangan engkau buang wajahmu, ketika ibumu hendak memandang wajahmu.
Yang ibu tagih kepadamu:
Jadikanlah rumah ibumu, salah satu tempat persinggahanmu, agar
engkau dapat sekali-kali singgah ke sana, sekalipun hanya sedetik.
Jangan jadikan ia sebagai tempat sampah yang tidak pernah engkau
kunjungi. Atau sekiranya terpaksa engkau datang sambil engkau tutup hidungmu
dan engkaupun berlalu pergi.
Anakku…
Telah bungkuk pula punggungku… bergemetar tanganku… karena badanku
telah dimakan oleh usia, dan telah digerogoti oleh penyakit… Berdirinya
seharusnya telah dipapah… duduk pun seharusnya dibopong…
Akan tetapi, yang tidak pernah sirna -wahai anakku- adalah cintaku
kepadamu… masih seperti dulu… masih seperti lautan yang tidak pernah kering… masih
seperti angin yang tidak pernah berhenti…
Sekiranya engkau dimuliakan satu hari saja oleh seseorang, niscaya
engkau akan balas kebaikan dengan kebaikan, sedangkan ibumu, mana balas budimu,
mana balasan baikmu?! bukankah air susu seharusnya dibalas dengan air serupa?!
bukan sebaliknya air susu dibalas dengan air tuba?! Dan bukankah Alloh ta’ala,
telah berfirman:
هل جزاء الإحسان إلا الإحسان
Bukankah balasan
kebaikan, melainkan kebaikan yang serupa?!
Sampai begitukah keras hatimu, dan sudah begitu jauhkah dirimu
setelah berlalunya hari dan berselangnya waktu.
Wahai anakku…
Setiap kali aku mendengar bahwa engkau bahagia dengan hidupmu,
setiap itu pula bertambah kebahagiaanku. Bagaimana tidak?! Karena engkau adalah
buah dari kedua tanganku… Engkau adalah hasil dari keletihanku… Engkaulah laba
dari semua usahaku…
Dosa apakah yang telah ku perbuat, sehingga engkau jadikan diriku
musuh bebuyutanmu?!
Pernahkah suatu hari aku salah dalam bergaul denganmu?!
Atau pernahkah aku berbuat lalai dalam melayanimu?!
Tidak dapatkah engkau menjadikanku pembantu yang terhina dari sekian
banyak pembantu-pembantumu yang mereka semua telah engkau beri upah?!
Tidak dapatkah engkau berikan sedikit perlindungan kepadaku di bawah
naungan kebesaranmu?!
Dapatkah engkau sekarang menganugerahkan sedikit kasih sayang demi
mengobati derita orang tua yang malang ini?!
إن الله يحب المحسنين
Sesungguhnya Alloh
mencintai orang-orang yang berbuat baik.
Wahai anakku…
Aku hanya ingin melihat wajahmu, dan aku tidak menginginkan yang
lain.
Wahai anakku…
Hatiku terasa teriris, air mataku mengalir, sedangkan engkau sehat
wal afiat. Orang-orang sering mengatakan, bahwa engkau adalah laki-laki yang
supel, dermawan dan berbudi.
Wahai anakku…
Apakah hatimu tidak tersentuh, terhadap seorang wanita tua yang
lemah, binasa dimakan oleh rindu berselimutkan kesedihan, dan berpakaian
kedukaan?!
Mengapa? Tahukah engkau itu?! Karena engkau telah berhasil
mengalirkan air matanya… Karena engkau telah membalasnya dengan luka di
hatinya… Karena engkau telah pandai menikam dirinya dengan belati durhakamu
tepat menghujam jantungnya… Karena engkau telah berhasil pula memutuskan tali
silaturrahim.
Wahai anakku…
Ibumu inilah sebenarnya pintu surga, maka titilah jembatan itu
menujunya… Lewatilah jalannya dengan senyuman yang manis, kemaafan, dan balas
budi yang baik… Semoga aku bertemu denganmu di sana, dengan kasih sayang Alloh
ta’ala sebagaimana di dalam hadits:
الوالد أوسط أبواب الجنة فإن شئت فأضع ذلك الباب أو احفظه
Orang tua adalah pintu
surga yang paling tinggi. Sekiranya engkau mau, sia-siakanlah pintu itu, atau
jagalah! (HR. Ahmad dan at-Tirmidzi, dishohihkan oleh Albani)
Anakku…
Aku mengenalmu sejak dahulu… semenjak engkau telah beranjak dewasa…
aku tahu engkau sangat tamak dengan pahala… engkau selalu cerita tentang
keuatamaan berjamaah… engkau selalu bercerita terhadapku tentang keutamaan shof
pertama dalam sholat berjamaah… engkau selalu mengatakan tentang keutamaan
infak, dan bersedekah…
Akan tetapi satu hadits yang telah engkau lupakan… satu keutamaan
besar yang telah engkau lalaikan… yaitu bahwa Nabi -shollallohu alaihi
wasallam- telah bersabda, sebagaimana diriwayatkan oleh Abdulloh bin Mas’ud, ia
mengatakan:
سألت رسول الله صلى الله عليه وسلم، قلت: يا رسول الله أي العمل أفضل؟ قال: الصلاة على ميقاتها. قلت: ثم أيُّ؟ قال: ثم بر الوالدين. قلت: ثم أيُّ؟ قال: الجهاد في سبيل الله. فسكت عن رسول الله صلى الله عليه وسلم ولو استزدته لزادني.
(متفق عليه)
Aku bertanya kepada
Rosululloh -shollallohu alaihi wasallam-: Wahai Rosululloh, amal apa yang
paling mulia? Beliau menjawab: sholat pada waktunya. Aku bertanya lagi:
Kemudian apa wahai Rosululloh? Beliau menjawab: Kemudian berbakti kepada kedua
orang tua. Aku bertanya lagi: Kemudian apa wahai Rosululloh? Beliau menjawab:
Kemudian jihad di jalan Alloh. Lalu aku pun diam (tidak bertanya) kepada
Rosululloh -shollallohu alaihi wasallam- lagi, dan sekiranya aku bertanya lagi,
niscaya beliau akan menjawabnya.
Itulah hadits Abdulloh bin Mas’ud…
Wahai anakku…
Inilah aku, ibumu… pahalamu… tanpa engkau harus memerdekakan budak
atau banyak-banyak berinfak dan bersedekah… aku inilah pahalamu…
Pernahkah engkau mendengar, seorang suami yang meninggalkan keluarga
dan anak-anaknya, berangkat jauh ke negeri seberang, ke negeri entah berantah
untuk mencari tambang emas, guna menghidupi keluarganya?! Dia salami satu
persatu, dia ciumi isterinya, dia sayangi anaknya, dia mengatakan: Ayah kalian,
wahai anak-anakku, akan berangkat ke negeri yang ayah sendiri tidak tahu, ayah
akan mencari emas… Rumah kita yang reot ini, jagalah… Ibu kalian yang tua renta
ini, jagalah…
Berangkatlah suami tersebut, suami yang berharap pergi jauh, untuk
mendapatkan emas, guna membesarkan anak-anaknya, untuk membangun istana
mengganti rumah reotnya.
Akan tetapi apa yang terjadi, setelah tiga puluh tahun dalam
perantauan, yang ia bawa hanya tangan hampa dan kegagalan. Dia gagal dalam
usahanya. Pulanglah ia kembali ke kampungnya. Dan sampailah ia ke tempat dusun
yang selama ini ia tinggal.
Apa lagi yang terjadi di tempat itu, setibanya di lokasi rumahnya,
matanya terbelalak. Ia melihat, tidak lagi gubuk reot yang ditempati oleh
anak-anak dan keluarganya. Akan tetapi dia melihat, sebuah perusahaan besar,
tambang emas yang besar. Jadi ia mencari emas jauh di negeri orang, kiranya
orang mencari emas dekat di tempat ia tinggal.
Itulah perumpaanmu dengan kebaikan, wahai anakku…
Engkau berletih mencari pahala… engkau telah beramal banyak… tapi
engkau telah lupa bahwa di dekatmu ada pahala yang maha besar… di sampingmu ada
orang yang dapat menghalangi atau mempercepat amalmu masuk surga…
Ibumu adalah orang yang dapat menghalangimu untuk masuk surga, atau
mempercepat amalmu masuk surga… Bukankah ridloku adalah keridloan Alloh?! Dan
bukankan murkaku adalah kemurkaan Alloh?!
Anakku…
Aku takut, engkaulah yang dimaksud oleh Nabi Muhammad -shollallohu
alaihi wasallam- di dalam haditsnya:
رغم أنفه ثم رغم أنفه ثم رغم أنفه قيل من يا رسول الله قال من أدرك والديه عند الكبر أحدهما أو كليهما ثم لم يدخل الجنة (رواه مسلم)
Celakalah seseorang,
celakalah seseorang, dan celakalah seseorang! Ada yang bertanya: Siapakah dia
wahai Rosululloh? Beliau menjawab: Dialah orang yang mendapati orang tuanya
saat tua, salah satu darinya atau keduanya, akan tetapi tidak membuat dia masuk
surga. (HR. Muslim 2551)
Celakalah seorang anak, jika ia mendapatkan kedua orang tuanya,
hidup bersamanya, berteman dengannya, melihat wajahnya, akan tetapi tidak
memasukkan dia ke surga.
Anakku…
Aku tidak akan angkat keluhan ini ke langit, aku tidak akan adukan
duka ini kepada Alloh, karena jika seandainya keluhan ini telah membumbung
menembus awan, melewati pintu-pintu langit, maka akan menimpamu kebinasaan dan
kesengsaraan, yang tidak ada obatnya dan tidak ada tabib yang dapat
menyembuhkannya…
Aku tidak akan melakukannya wahai anakku… tidak… bagaimana aku akan
melakukannya, sedangkan engkau adalah jantung hatiku… bagaimana ibu ini kuat
menengadahkan tangannya ke langit, sedangkan engkau adalah pelipur lara hatiku…
bagaimana ibu tega melihatmu merana terkena doa mustajab, padahal engkau bagiku
adalah kebahagiaan hidupku…
Bangunlah nak… bangunlah… bangkitlah nak… bangkitlah… uban-uban
sudah mulai merambat di kepalamu. Akan berlalu masa, sehingga engkau akan
menjadi tua pula.
الجزاء من جنس العمل
Sebagaimana engkau akan berbuat, seperti itu pula orang akan berbuat
kepadamu.
الجزاء من جنس العمل
Ganjaran itu sesuai dengan amal yang engkau telah tanamkan. Engkau
akan memetik sesuai dengan apa yang engkau tanam.
Aku tidak ingin engkau menulis surat ini… aku tidak ingin engkau
menulis surat yang sama, dengan air matamu kepada anak-anakmu, sebagaimana aku
telah menulisnya kepadamu.
Wahai anakmu…
bertakwalah kepada Alloh… takutlah engkau kepada Alloh… berbaktilah
kepada ibumu… peganglah kakinya, sesungguhnya surga berada di kakinya… basuhlah
air matanya, balurlah kesedihannya… kencangkan tulang ringkihnya… dan kokohkan
badannya yang telah lapuk…
Anakku…
setelah engkau membaca surat ini, terserah padamu. Apakah engkau
sadar dan engkau akan kembali, atau engkau akan merobeknya.
Wa shollallohu ala nabiyyina muhammadin wa ala alihi wa shohbihi wa
sallam.
Dari Ibumu yang merana.
(Disadur dari kajian Ustadz Armen -rohimahulloh- dan akan
disambung dengan jawaban si anak kepada sang ibu)
Sumber : http://addariny.wordpress.com
0 komentar:
Posting Komentar