Donasi Tanah Wakaf

Donasi Tanah Wakaf

Cari Blog Ini

Pages - Menu

Pengunjung Blog

free counters

Jumat, 27 April 2012

Fiqih I'tikaf [2]

Posted by Unknown On April 27, 2012 No comments
Permasalahan : Yaitu I'tikaf di masjid yang berada di rumah , apa hukum beri'tikaf di tempat tersebut ?
 Saya (muallif) mengatakan : Sebagian salaf dari kalangan tabi'in membolehkan beri'tikaf di masjid yang berada di rumah , akan tetapi beberapa orang dari kalangan sahabat menyelisihi pendapat mereka : Tidak ada I'tikaf kecuali di masjid jami' , ini adalah perkataan Ummul Mukminin Aisyah dan Ibnu Abbas – radhiallahu anhuma - .
Maka pendapat yang rajih (kuat) menurut kami dalam masalah ini :
Bahwasanya tidak dibolehkan beri'tikaf kecuali di masjid-masjid yang didirikan sholat jumat dan sholat jamaah di dalamnya , dan pada umumnya masjid-masjid yang berada di rumah terkunci saat sholat jumat didirikan , maka orang yang beri'tikaf harus keluar dari I'tikafnya untuk sholat jumat .Memang , sebagian ulama telah memperbolehkan keluarnya orang yang beri'tikaf untuk sholat jumat , dan ini adalah pendapat Ahmad sebagiamana dalam kitab Masail Abdillah (732) , akan tetapi perkataan tersebut dibangun berdasarkan pendapat yang mengatakan bolehnya beri'tikaf di masjid yang berada di rumah , dan telah berlalu penjelasan atas pendhoifan hadits tersebut .

3.Tidak Keluar dari tempat I'tikaf Kecuali Karena Kepentingan Yang Sangat Mendesak.
Dan ini yang nampak dari ucapan Aisyah – radhiallahu anha - :

السنة على المعتكف : أن لا يعود مريضا , ولا يشهد جنازة , و لا يمس امرأة , و لا يباشرها , و لا يخرج لحاجة إلا لما لا بد منه .

Artinya : "Disunnahkan atas orang yang beri'tikaf untuk tidak menjenguk orang sakit , tidak menghadiri sholat jenazah , tidak menggauli istri , tidak mencumbuinya , tidak keluar kecuali untuk kebutuhan yang mendesak yang harus ditunaikan .

Dan ucapan Aisyah – radhiallahu anha - : "Sunnah…" , dihukumi marfu' kepada Nabi – shallallahu alaihi wa sallam - . Dan inilah yang ditunjukkan oleh perbuatan beliau – shallallahu alaihi wa sallam - .Sesungguhnya beliau – shallallahu alaihi wa sallam – menjulurkan kepalanya kepada Aisyah – radhiallahu anha – yang berada di kamarnya , sedangkan tubuh beliau di masjid , maka Aisyah menyisir rambut beliau .
Dan dari Ummul Mukminin Aisyah – radhiallahu anha - , beliau berkata :

إن كان رسول الله – صلى الله عليه و سلم – ليدخل رأسه وهو في المسجد فأرجِّله , و كان لا يدخل البيت إلا لحاجة إذا كان معتكفا .
  

Artinya : "Jika Rasulullah  – shallallahu alaihi wa sallam – memasukkan kepalanya , dan beliau berada di masjid , aku pun menyisir beliau , dan beliau tidak memasuki rumah kecuali karena suatu kebutuhan , jika beliau sedang beri'tikaf .[1]

Imam Bukhari telah membuat bab dalam masalah ini :(Bab : Tidak Memasuki Rumah Kecuali Karena Suatu Kebutuhan) .
Dan telah shohih dari Nabi  – shallallahu alaihi wa sallam – bahwasanya beliau keluar dari tempat I'tikafnya untuk mengantar salah satu istrinya ke rumahnya , maka ini termasuk kepentingan yang mendesak , yang membolehkan orang yang beri'tikaf untuk menunaikan kepentingan tersebut .
Dan dari Ummul Mukminin Shofiyyah – radhiallahu anha - :

أنها أتت النبي – صلى الله عليه و سلم – وهو معتكف , فلما رجعت مشى معها , فأبصره رجل من الأنصار , فلما أبصره دعاه , فقال : تعال , هي صفية , فإن الشيطان يجري من ابن آدم مجرى الدم .

Artinya : "Bahwasanya dia mendatangi Nabi  – shallallahu alaihi wa sallam – , sedang beliau beri'tikaf , maka ketika Shofiyyah pulang , beliau berjalan bersamanya , kemudian seorang laki-laki dari anshor melihat beliau , maka ketika orang tersebut melihatnya , Rasulullah memanggilnya , dan berkata : "Kemarilah ,dia adalah Shofiyyah , karena sesungguhnya syaithon berjalan di tubuh bani Adam melalui aliran darahnya " .[2]

Disini ada permasalahan penting : yaitu hukum keluar dari tempat i'tikaf untuk bekerja , mencari nafkah , dan mencari rizki , terlebih lagi para pegawai , apakah hal ini boleh bagi mereka ?
Jawabannya : Telah shohih penukilannya dari sekelompok salaf , bahwasanya tidak boleh bagi seorang yang beri'tikaf untuk menjual dan membeli , berdebat dengan seseorang , atau keluar tanpa kepentingan yang mendesak seperti buang air , atau untuk mengantar istri jika dikhawatirkan ada bahaya di jalan , atau untuk sholat jumat , dan selainnya , ini berdasarkan pendapat sekelompok salaf .
Dalam Mushonnaf Abdurrazzaq (3/361) dengan sanad yang shohih dari Zuhri  , dia berkata :Seorang yang beri'tikaf tidak boleh menjual dan tidak boleh membeli .

Dan di dalam Mushonnaf juga terdapat riwayat dari Mujahid dan Amr bin Dinar dengan sanad-sanad yang shohih .begitu juga diriwayatkan dengan sanad yang shohih dari Atho'bin Abi Rabah ,dia berkata : "Seseorang yang beri'tikaf tidak boleh menjual , tidak boleh membeli , tidak boleh keluar menuju penguasa sehingga dia mengadu kepadanya, kecuali dia telah berniat untuk itu .

Dan dalam sebuah riwayat dari Atho' , bahwasanya dia membolehkan seorang yang beri'tikaf untuk berwasiat kepada keluarganya tentang perbuatan dan maslahat kehidupan mereka , dan juga diperbolehkan untuk mencatat kebutuhannya .
Dan sebagian salaf membolehkan keluar , atas dasar apabila hal ini dia syaratkan ketika beri'tikaf , seperti dia mensyaratkan ketika beri'tikaf untuk berbuka bersama keluarganya , dan sahur bersama mereka , ini adalah pendapat Qotadah dan selainnya .
Ibnu Abi Syaibah telah meriwayatkan dari Qotadah dengan sanad yang shohih (2/336) .

Dan dari ibnu abi syaibah dengan sanad yang shohih juga, bahwa Ya'la bin Umayyah berkata kepada muridnya: "Marilah kita pergi ke masjid , kemudian kita beri'tikaf di sana selama 1 (satu) jam .
Adapun Atho' bin Abi Rabah , dia berkata : "Ini bukanlah i'tikaf" . Ibnu Abi Syaibah telah meriwayatkan atsar atho’ bin abi rabah ini, dan inilah pendapat yang diperkuat oleh dalil-dalil.
Dan yang lebih utama , bagi orang yang berniat untuk beri'tikaf dan bertekad bulat untuknya , untuk menjauhkan dirinya dari kesibukan-kesibukan dunia , dan mencurahkan hatinya untuk beribadah , dan melaksanakan ketaatan dengan sesuatu yang menyibukkannya dari ketaatan .

4. Tidak mencumbui Istri
Baik dengan bersetubuh atau sekedar bercumbu , yang demikian itu karena kesucian dan keagungan masjid, maka tidak diperbolehkan bagi orang yang beri’tikap hal-hal yang diperbolehkan bagi orang yang yang berpuasa ketika telah berbuka , Allah ta'ala berfirman :


ولا تباشروهن و أنتم عاكفون في المساجد .(البقرة : 187) .

Artinya :   : Dan janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf dalam masjid. (Q.S Al Baqarah ; 187) .



Dan Ummul Mukminin Aisyah berkata :

و لا يمس امرأة , ولا يباشرها .

Artinya : "(Seorang yang beri'tikaf) tidak boleh menyetubuhi istrinya , dan tidak boleh mencumbuinya" .

Abdurrazzaq telah mengeluarkan dalam Mushonnaf (3/364) dengan sanad yang shohih dari Atho' bin Abi Rabah , dia berkata : "Janganlah seorang yang beri'tikaf mendatangi keluarganya (istrinya) pada malam maupun siang hari , dia berkata : dan tidak boleh menyetubuhi, mencium, mencumbui, menyentuh, meraba istrinya , dan hendaknya dia menjauhi istrinya sebisa mungkin" .

Maka menyetubuhi istri , atau mencumbuinya adalah teremasuk hal yang membatalkan I'tikaf.

Apa yang dilakukan seorang yang beri'tikaf apabila dia telah menyetubuhi istrinya, telah mencium, atau telah mencumbui istrinya walaupun sebentar ?
Tidak disebutkan sedikit pun dalam bab ini sesuatu yang menunjukkan atas wajibnya kaffaroh .
Sebagaimana yang telah dikeluarkan oleh Abdurrazzaq (3/363) dengan sanad yang shohih dari Zuhri , tentang seseorang yang menyetubuhi istrinya sedangkan dia beri'tikaf ?
Dia berkata : Tidak ada dalil sedikit pun yang sampai kepada kami tentang hal itu , akan tetapi kami berpendapat hendaknya ia membebaskan budak , sebagaimana kaffaroh orang yang menyetubuhi istrinya pada bulan ramadhan .

Saya (muallif) mengatakan :pendapat yang mengatakan bahwa adanya kaffaroh adalah datang dari sebuah ijtihad , dan sesuatu yang tidak ada nash tentangnya , maka tidak bisa dijadikan hujjah untuk perkataan yang merupakan ijtihad , dan yang benar bahwa dia memulai I'tikaf dari awal .
Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abdurrazzaq , dan Ibnu Abi Syaibah (2/338) dengan sanad perawi yang tsiqoh (terpercaya) dari Ibnu Abbas , berkata :

إذا وقع المعتكف على امرأته استأنف اعتكافه

Artinya : "Jika seorang yang beri'tikaf menyetubuhi istrinya , maka ia memulai I'tikafnya dari awal" .

Saya (muallif) mengatakan : Ini dalam I'tikaf pada selain waktu puasa wajib seperti bulan ramadhan , maka sesungguhnya seseorang yang menyetubuhi istrinya ketika I'tikaf pada siang hari bulan ramadhan , maka wajib atasnya sebagaimana yang diwajibkan atas orang yang menyetubuhi pada waktu puasa wajib. Wallahu A'lam.

Disyariatkannya I'tikaf Bagi Wanita Ketika Aman Dari Fitnah, Berdasarkan yang telah lalu dari hadits Ummul Mukminin Aisyah – radhiallahu anha - , dia berkata :

كان رسول الله – صلى الله عليه و سلم – يعتكف في كل رمضان فإذا صلى الغداة دخل مكانه الذي اعتكف فيه , قال : فاستأذنته عائشة أن تعتكف , فأذن لها , فضربت فيه قبة , فسمعت بها حفصة , فضربت قبة , و سمعت زينب بها فضربت قبة أخرى ...الحديث .

Artinya : : "Adalah Rasulullah – shallallahu alaihi wa sallam – i'tikaf pada tiap ramadhan, apabila beliau selesai dari sholat shubuh, beliau masuk ke tempat i'tikaf beliau. Berkata Rowi : Kemudian Aisyah meminta izin kepada beliau untuk beri'tikaf , maka Rasulullah – shallallahu alaihi wa sallam – mengizinkannya , kemudian Aisyah membuat kemah di tempat tersebut, lalu Hafshoh mendengarnya , kemudian dia pun membuat kemah . Kemudian Zainab mendengarnya , kemudian dia pun membuat kemah …dst.
Dan dari Aisyah – radhiallahu anha - , berkata :

اعتكفت مع رسول الله  – صلى الله عليه و سلم – امرأة من أزواجه مستحاضة , فكانت ترى الحمرة و الصفرة , فربما وضعنا الطست تحتها وهي تصلي .

Artinya : "Salah satu dari istri Nabi – shallallahu alaihi wa sallam- beri'tikaf bersama beliau . Maka dia melihat cairan berwarna merah dan kuning , kadang-kadang kami membuatkan baskom di bawahnya , sedangkan dia sedang sholat .[3]

Akan tetapi ini disyaratkan ketika aman dari fitnah , tidak ada bahaya dengan keluarnya wanita untuk I'tikaf , mendapat izin dari walinya, terlebih jika dia telah bersuami, maka sesungguhnya ia tidak boleh keluar untuk I'tikaf kecuali dengan perintah suaminya dan tidak ada bahaya bagi dirinya , atau lainnya seperti anak-anaknya , atau orang yang berada dalam tanggung jawabnya dengan keluarnya menuju I'tikaf.

Kapan Seorang Yang Beri'tikaf Disyariatkan Untuk Beri'tikaf ?

Seorang yang beri'tikaf disyariatkan beri'tikaf setelah sholat shubuh , sebagaimana telah lalu dalam hadits Ummul Mukminin Aisyah – radhiallahu anha - , Dia berkata :

كان رسول الله – صلى الله عليه و سلم – يعتكف في كل رمضان فإذا صلى الغداة دخل مكانه الذي اعتكف فيه .

Artinya : : "Adalah Rasulullah – shallallahu alaihi wa sallam – i'tikaf pada tiap ramadhan, apabila beliau selesai dari sholat shubuh, beliau masuk ke tempat i'tikaf beliau.

Dan rasulullah dibuatkan sebuah kemah yang kecil untuk I'tikaf, semua ini dibolehkan dengan syarat tidak menyusahkan tempat yang dapat mempersempit orang-orang yang sholat , oleh karena itu , disunnahkan kemah tesebut berada di masjid bagian belakang atau tempat-tempat yang tidak mengganggu orang yang sholat , serta aman bagi masjid .

هذا والله أعلم بالصواب, وهو الهادي إلى سواء السبيل, والحمد لله رب العالمين



[1].Hadits shohih , diriwayatkan oleh sekelompok ulama , dan hadits ini terdapat dalam Shohih Bukhari 2/66.
[2].Hadits shohih , dikeluarkan oleh Bukhari 1/347 , Muslim 4/1712 , Abu Dawud no hadits 2470 , Ibnu Majah no hadits 1779 , dari jalan : Zuhri , dari Ali bin Al Husain , dari Shofiyyah bihi.
[3] .Dikeluarkan oleh Bukhari 2/68 , Abu Dawud no hadits 2476 , Ibnu Majah no hadits 1780 , dari jalan Ikrimah , dari Aisyah.

0 komentar:

Posting Komentar

Site search