Oleh : Abu Ubaidah Yusuf - Hafidzahullah -
Salah satu pilar utama dan landasan mendasar bagi manhaj salafi adalah perhatian terhadap hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
baik dari segi penelitian keshohihannya, mempelajari kandungan
maknanya, membelanya dari hujatan, mengamalkan kandungannya, dan
menebarkannya kepada khalayak manusia. Hal itu merupakan tanda utama
Ahlus Sunnah wal Jama’ah, Ahli Hadits, dan Salafiyyun.
Tidak demikian halnya dengan kelompok-kelompok
lainnya. Kelompok-kelompok selain Ahlus Sunnah, mereka kurang perhatian terhadap hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sehingga tidak bisa membedakan mana hadits yang shohih dan tidak. Bahkan terkadang mereka bersandar pada akal dan hawa nafsunya. Lebih parah lagi, bahkan ada yang berani menggugat hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menentangnya.[1]
lainnya. Kelompok-kelompok selain Ahlus Sunnah, mereka kurang perhatian terhadap hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sehingga tidak bisa membedakan mana hadits yang shohih dan tidak. Bahkan terkadang mereka bersandar pada akal dan hawa nafsunya. Lebih parah lagi, bahkan ada yang berani menggugat hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menentangnya.[1]
Lalu, bagaimana peran Imam Syafi’i dalam hadits?! Sebenarnya itu
adalah masalah yang cukup populer dari imam yang mendapat gelar “pembela
hadits” ini, namun tidak mengapa jika kita tampilkan di sini beberapa
sisi dan bukti pembelaan dan pengagungan beliau terhadap hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kami tekankan pula di sini beberapa masalah yang merupakan kaidah dan prinsip dasar dalam memahami dan membela hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Imam Syafi’i Pembela Hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
Sesungguhnya membela hadits Nabi merupakan suatu amalan yang amat
mulia dan utama. Oleh karenanya, tidak heran bila para ulama menilainya
sebagai jihad fi sabilillah. Imam Yahya bin Yahya rahimahullah pernah mengatakan:
الذَّبُّ عَنِ السُّنَّةِ أَفْضَلُ مِنَ الْجِهَادِ
“Membela sunnah lebih utama daripada jihad.” [2]
Dan Imam Syafi’i termasuk dalam barisan para pembela hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sehingga beliau mendapat gelar dari para ulama semasa beliau dengan “Nashirus Sunnah” (pembela hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam). Imam Ahmad rahimahullah berkata, “Semoga Alloh merahmati Syafi’i, dia telah membela hadits-hadits Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam.” [3]
Imam Syafi’i rahimahullah berkata:
سُمِّيْتُ بِمَكَّةَ نَاصِرَ الْحَدِيْثِ
“Di Makkah saya digelari sebagai pembela hadits.” [4]
سُمِّيْتُ بِبَغْدَادَ نَاصِرَ الْحَدِيْثِ
“Di Baghdad saya digelari sebagai pembela hadits.” [5]
Sikap sangat menarik dan menakjubkan yang menunjukkan pengagungan
Imam Syafi’i terhadap hadits dan sikap beliau terhadap orang yang
menolak hadits adalah kisah laporan beliau kepada al-Qodhi Abul Bakhtari
tentang Bisyr al-Marrisi[6] karena dia telah menolak hadits Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam. Imam Syafi’i rahimahullah
bercerita, “Saya pernah berdebat dengan al-Marrisi tentang undian, lalu
dia mengatakan bahwa undian adalah perjudian!! Maka saya datang kepada
Abul Bakhtari seraya aku katakan kepadanya, ‘Aku mendengar al-Marrisi
mengatakan bahwa undian adalah perjudian!!’ Lalu dia (Abul Bakhtari)
mengatakan, ‘Wahai Abu Abdillah (kunyah Imam Syafi’i), datangkanlah
saksi lainnya niscaya saya akan membunuhnya.’ Dalam lafazh lainnya,
‘Datangkanlah saksi lainnya, niscaya saya akan mengangkatnya di atas
pohon lalu menyalibnya.’ ” [7]
Kedudukan Hadits Dalam Pandangan Imam Syafi’i
Ketahuilah wahai saudaraku—semoga Alloh merahmatimu—bahwasanya Alloh
menurunkan dua wahyu berupa al-Qur’an dan al-Hikmah kepada Rosul-Nya dan
mewajibkan seluruh hamba mengimani keduanya dan mengamalkan
kandungannya. Alloh berfirman:
وَأَنزَلَ ٱللَّهُ عَلَيْكَ ٱلْكِتَـٰبَ وَٱلْحِكْمَةَ
Dan Alloh telah menurunkan kitab dan hikmah kepadamu. (QS. an-Nisa’ [4]: 113)
Menurut kesepakatan ulama salaf, yang dimaksud “kitab” ialah al-Qur’an, sedang “hikmah” adalah sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Imam Syafi’i rahimahullah berkata:
فَذَكَرَ اللهُ الْكِتَابَ وَهُوَ الْقُرْآنُ
وَذَكَرَ الْحِكْمَةَ فَسَمِعْتُ مَنْ أَرْضَى مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ
بِالْقُرْآنِ يَقُوْلُ الْحِكْمَةُ سُنَّةُ رَسُوْلِ اللهِ
“Alloh menyebut al-Kitab yaitu al-Qur’an dan mengiringinya dengan
al-hikmah. Saya mendengarkan orang-orang yang saya ridhoi dari para ahli
ilmu tentang al-Qur’an, mereka mengatakan bahwa maksud al-Hikmah adalah
sunnah Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam.” [8]
Imam Syafi’i Membantah Para Pengingkar Hadits
Imam Syafi’i telah membantah secara tuntas para pengingkar sunnah
yang hanya mencukupkan diri dengan al-Qur’an saja tanpa hadits. Beliau
berdialog dengan mereka dengan hujjah-hujjah yang kuat. Banyak sekali
ucapan beliau dalam masalah ini, tetapi kita nukil beberapa saja di
sini.
وَكُلُّ مَا سَنَّ فَقَدْ أَلْزَمَنَا اللهُ
اتِّبَاعَهُ وَجَعَلَ فِي اتِّبَاعِهِ طَاعَتَهُ, وَفِي الْعُنُوْدِ عَنِ
اتِّبَاعِهَا مَعْصِيَتَهُ الَّتِيْ لَمْ يَعْذِرْ بِهَا خَلْقًا, وَلَمْ
يَجْعَلْ لَهُ مِن اتِّبَاعِ سُنَنِ رَسُوْلِ اللهِ مَخْرَجًا لِمَا
وَصَفْتُ وَمَا قَالَ رَسُوْلُ اللهِ
“Setiap apa yang dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
maka Alloh mewajibkan kita untuk mengikutinya dan menjadikan hal itu
sebagai ketaatan dan Alloh menjadikan sikap menyimpang dan tidak
mengikutinya sebagai kemaksiatan yang Alloh tidak memberikan udzur
kepada makhluk, dan Alloh tidak menjadikan jalan keluar dari mengikuti
sunnah-sunnah Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana telah saya jelaskan dan sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” [9]
Lalu beliau membawakan sebuah hadits Abu Rofi’ radhiallahu ‘anhu:
لاَ أَلْفِيَنَّ أَحَدَكُمْ مُتَّكِئًا عَلَى
أَرِيْكَتِهِ يَأْتِيْهِ الأَمْرُ مِنْ أَمْرِيْ مِمَّا أَمَرْتُ بِهِ أَوْ
نَهَيْتُ عَنْهُ فَيَقُوْلُ لاَ أَدْرِيْ مَا وَجَدْنَا فِيْ كِتَابِ
اللهِ اتَّبَعْنَاهُ
(Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,) “Hampir saja
saya mendapati salah seorang di antara kalian duduk seraya bersandar di
atas ranjang hiasnya tatkala datangnya kepadanya perintah atau larangan
dariku lalu dia berkomentar, ‘Saya tidak tahu, apa yang kami jumpai
dalam al-Qur’an maka kami mengikutinya.’ ” [10]
Beliau berkomentar tentang hadits di atas:
وَفِيْ هَذَا تَثْبِيْتُ الْخَبَرِ عَنْ رَسُوْلِ
اللهِ وَإِعْلاَمُهُمْ أَنَّهُ لاَزِمٌ لَهُمْ وَإِنْ لَمْ يَجِدُوْا لَهُ
نَصَّ حُكْمٍ فِيْ كِتَابِ اللهِ
“Dalam hadits ini terdapat penjelasan tentang hujjahnya hadits dari Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam
dan penjelasan kepada hamba bahwa wajib bagi mereka mengikuti hadits
sekalipun mereka tidak mendapati nas hukumnya dalam Kitabulloh
(al-Qur’an).’ ” [11]
Imam al-Baihaqi rahimahullah berkata, “Inilah kabar Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang ingkarnya para ahli bid’ah terhadap hadits beliau. Sungguh apa yang beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam sampaikan telah nyata terjadi.” [12]
Aduhai, seandainya kita mencukupkan dengan al-Qur’an saja tanpa
hadits, lantas bagaimanakah sifat (tata cara) secara rinci tentang
sholat, puasa, zakat, haji, dan seterusnya?! Bukankah dalam al-Qur’an
hanya disebutkan secara global saja?!! Pikirkanlah!
Hadits Ahad Hujjah Menurut Imam Syafi’i
Masalah ini telah dibahas tuntas dan panjang lebar oleh Imam Syafi’i
dalam banyak kesempatan. Imam Ibnul Qoyyim berkata, “Kelompok ketiga
mengatakan, ‘Kami menerima hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mutawatir dan kami menolak hadits-hadits ahad[13]
baik berupa ilmu maupun amal.’ Syafi’i telah berdialog dengan sebagian
manusia pada zamannya tentang masalah ini, kemudian Syafi’i mematahkan
syubhat (kerancuan) lawannya dan menegakkan hujjah-hujjah kepadanya.
Syafi’i membuat satu bab yang panjang tentang wajibnya menerima hadits
ahad. Tidaklah beliau dan seorang pun dari ahli hadits membedakan antara
hadits masalah ahkam (hukum) dan sifat (aqidah). Paham
pembedaan seperti tidaklah dikenal dari seorang pun dari sahabat dan
satu pun dari tabi’in dan tabi’ut tabi’in maupun seorang pun dari
kalangan imam Islam. Paham ini hanyalah dikenal dari para gembong ahli
bid’ah beserta cucu-cucunya.” [14]
Di antara kata mutiara yang diucapkan Imam Syafi’i tentang masalah
ini adalah nukilan beliau tentang ijma’ ulama akan hujjahnya hadits ahad
apabila shohih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau berkata:
لَمْ أَحْفَظْ عَنْ فُقَهَاءِ الْمُسْلِمِيْنَ أَنَّهُمْ اخْتَلَفُوْا فِيْ تَثْبِيْتِ خَبَرِ الْوَاحِدِ
“Saya tidak mendapati perselisihan pendapat di kalangan ahli ilmu tentang menerima hadits ahad.” [15]
Para ulama kita telah membahas tuntas dan panjang masalah ini, sehingga tidak perlu bagi kami untuk merincinya di sini.[16]
Tidak Mungkin al-Qur’an Bertentangan Dengan Hadits
Harus kita yakini bahwa dalil-dalil dari al-Qur’an dan hadits yang
shohih tidaklah saling bertentangan sama sekali karena keduanya dari
Alloh. Alloh berfirman:
أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ ٱلْقُرْءَانَ ۚ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِندِ غَيْرِ ٱللَّهِ لَوَجَدُوا۟ فِيهِ ٱخْتِلَـٰفًۭا كَثِيرًۭا ﴿٨٢﴾
Maka apakah mereka tidak memperhatikan al-Qur’an? Kalau kiranya
al-Qur’an itu bukan dari sisi Alloh, tentulah mereka mendapat
pertentangan yang banyak di dalamnya. (QS. an-Nisa’ [4]: 82)
Itulah yang ditegaskan oleh Imam Syafi’i tatkala berkata:
وَلاَ تَكُوْنُ سُنَّةٌ أَبَدًا تُخَالِفُ الْقُرْآنَ
“Tidak mungkin sama sekali sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyelisihi Kitabulloh.” [17]
Bahkan beliau menilai bahwa ucapan seseorang, “Hadits apabila
menyelisihi tekstual al-Qur’an, tertolak,” merupakan suatu kejahilan.[18]
Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata, “Yang wajib diyakini
setiap muslim, tidak ada satu pun hadits shohih yang menyelisihi
Kitabulloh. Bagaimana tidak, Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam
adalah penjelas Kitabulloh, al-Qur’an diturunkan kepada beliau, dan
beliau diperintah untuk mengikutinya. Jadi, beliaulah makhluk yang
paling mengerti maksud al-Qur’an! Seandainya setiap orang boleh menolak
sunnah Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam berdasarkan pemahamannya terhadap tekstual al-Qur’an, maka betapa banyak sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang akan ditolak dan akan gugurlah semuanya.” [19]
Kemudian beliau menjelaskan bahwa mempertentangkan antara hadits
dengan al-Qur’an adalah ciri khas ahli bid’ah, dengan menampilkan
contoh-contohnya. Seandainya bukan karena khawatir terlalu panjang maka
akan kami nukilkan.[20]
Apabila Hadits Bertentangan dengan Pendapat
Imam Syafi’i telah berwasiat emas kepada kita, apabila ada hadits
yang bertentangan dengan pendapat kita maka hendaknya kita mendahulukan
hadits dan berani meralat pendapat kita.
Imam Ibnu Rojab berkata, “Adalah Imam Syafi’i, beliau sangat keras
dalam hal ini. Beliau selalu mewasiatkan kepada para pengikutnya untuk
mengikuti kebenaran apabila telah tampak kepada mereka dan memerintahkan
untuk menerima sunnah apabila datang kepada mereka, sekalipun
menyelisihi pendapat beliau.” [21]
Banyak sekali bukti akan hal itu. Cukuplah sebagian nukilan berikut sebagai bukti akan hal itu:
1 — Robi’ (salah seorang murid senior Syafi’i) berkata, “Saya pernah
mendengar Imam Syafi’i meriwayatkan suatu hadits, lalu ada seorang yang
hadir bertanya kepada beliau, ‘Apakah engkau berpendapat dengan hadits
ini, wahai Abu Abdillah?” Beliau menjawab:
مَتَى رَوَيْتُ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ حَدِيْثًا صَحِيْحًا وَلَمْ آخُذْ بِهِ، فَأُشْهِدُكُمْ أَنَّ عَقْلِيْ قَدْ ذَهَبَ
‘Kapan saja saya meriwayatkan sebuah hadits shohih dari Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian saya tidak mengambilnya, maka saksikanlah oleh kalian bahwa akalku telah hilang.’ ” [22]
2 — Imam Syafi’i rahimahullah berkata:
يَا ابْنَ أَسَدٍ اقْضِ عَلَيَّ حَيِيْتُ أَوْ مِتُّ
أَنَّ كُلَّ حَدِيْثٍ يَصِحُّ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ فَإِنِّيْ أَقُوْلُ بِهِ
وَإِنْ لَمْ يَبْلُغْنِيْ
“Wahai Ibnu Asad, putuskanlah atasku, baik aku masih hidup atau setelah wafat bahwa setiap hadits yang shohih dari Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka sesungguhnya itulah pendapatku, sekalipun hadits tersebut belum sampai kepadaku.” [23]
3 — Imam Syafi’i rahimahullah berkata:
إِذَا صَحَّ الْحَدِيْثُ فَهُوَ مَذْهَبِيْ
“Apabila ada hadits shohih maka itulah madzhabku.” [24]
Demikianlah beberapa contoh pengagungan beliau terhadap sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan peringatan keras beliau terhadap penolakan Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka ambillah pelajaran wahai orang yang berakal!!
Kesimpulan
Dari penjelasan di atas dapat kita simpulkan bahwa Imam Syafi’i
betul-betul layak bergelar “pembela hadits” karena pembelaannya kepada
hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan bantahannya kepada para penghujat hadits. Dan beliau juga telah meletakkan kaidah-kaidah penting, seperti:
- Hadits adalah hujjah seperti halnya al-Qur’an.
- Hadits ahad adalah hujjah baik dalam aqidah maupun hukum.
- Hadits tidak mungkin bertentangan dengan al-Qur’an.
- Hadits harus lebih didahulukan daripada pendapat manusia.[25]
Penulis: Abu Ubaidah Yusuf As-Sidawi
Artikel www.abiubaidah.com
Artikel www.abiubaidah.com
[1] Lihat al-Intishor Li Ashhabil Hadits karya as-Sam’ani hlm. 54–56.
[2] Dzammul Kalam karya al-Harowi: 4/254 no. 1089, Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah: 4/13
[3] Tawali Ta’sis karya Ibnu Hajar hlm. 86
[4] Tawali Ta’sis hlm. 40
[5] Siyar A;lam Nubala’: 3/3286.
[6] Demikian harokatnya yang benar, dengan memfathah mim, mengkasroh ro’ dan mensukun ya’. (Wafayatul A’yan karya Ibnu Khollikan: 1/278, Dhobtul A’lam karya Ahmad Taimur Basya hlm. 189)
[7] Diriwayatkan al-Khollal dalam as-Sunnah: 1735 dan al-Khothib al-Baghdadi dalam Tarikh-nya: 7/60 dengan sanad yang shohih. (Lihat Sittu Duror karya Abdul Malik Romadhoni hlm. 65)
[8] Ar-Risalah hlm. 78
[9] Ar-Risalah hlm. 88–89
[10] HR. Abu Dawud: 4604, Ahmad: 4/130–131, dll. Hadits ini dishohihkan al-Albani dalam al-Misykah: 163 dan al-Hadits Hujjatun Binafsihi hlm. 30.
[11] Ar-Risalah hlm. 404
[12] Dala’il Nubuwwah: 1/25
[13] Mutawatir
secara bahasa artinya berurutan atau beriringan. Adapun secara istilah
yaitu hadits yang diriwayatkan dari jalan yang sangat banyak sehingga
mustahil kalau mereka bersepakat dalam kedustaan karena mengingat banyak
jumlahnya dan keadilannya serta perbedaan tempat tinggalnya. Ahad
secara bahasa artinya satu, sedang secara istilah yaitu hadits yang
diriwayatkan dari satu jalan, dua atau lebih, tetapi tidak mencapai
derajat mutawatir. (Lihat Akhbarul Ahad Fil Hadits Nabawi karya Abdulloh al-Jibrin hlm. 40, 48, Taisir Mustholah Hadits karya Dr. Mahmud ath-Thohan hlm. 23, 27)
[14] Mukhtashor Showa’iq al-Mursalah: 2/433–435
[15] Ar-Risalah hlm. 457
[16] Lihatlah kitab al-Hadits Hujjah Binafsihi Fil Aqo’id wal Ahkam dan Wujub al-Akhdhi Bihaditsil Ahad Fil Aqidah war Roddu ’Ala Syubahil Mukholifin, keduanya karya Syaikh al-Albani.
[17] Jima’ul Ilmi hlm. 124, ar-Risalah hlm. 546.
[18] Ikhtilaf Hadits hlm. 59
[19] Ath-Thuruq al-Hukmiyyah hlm. 101
[20] Lihat ath-Thuruq al-Hukmiyyah hlm. 82–84.
[21] Al-Farqu Baina Nashihah wa Ta’yir hlm. 9
[22] Al-Faqih wal Mutafaqqih karya al-Khothib al-Baghdadi: 1/389
[23] Al-I’tiqod karya al-Baihaqi hlm. 133
[24] Hilyatul Auliya’ karya Abu Nu’aim: 9/170 dan dishohihkan an-Nawawi dalam al-Majmu’: 1/63. Al-Hafizh Ibnu Hajar v\ berkata, “Ucapan ini masyhur dari beliau.” (Tawali Ta’sis hlm. 109). Dan as-Subki memiliki kitab khusus tentang ucapan ini berjudul Ma’na Qoulil Imam al-Muthollibi Idza Shohhal Haditsu Fahuwa Madzhabi.
[25] Diringkas dari manuskrip buku karya penulis berjudul Manhaj Salafi Imam Syafi’i. Insya Alloh akan segera dicetak. Semoga Alloh memudahkan penerbitannya.
0 komentar:
Posting Komentar