Donasi Tanah Wakaf

Donasi Tanah Wakaf

Cari Blog Ini

Pages - Menu

Pengunjung Blog

free counters

Jumat, 27 April 2012

Fiqih I'tikaf [1]

Posted by Unknown On April 27, 2012 No comments
 Karya : Amru Bin Abdul Mun'im Salim
Alih Bahasa : Yanuarizki Wofi Amalia
Muqoddimah 

Sesungguhnya segala puji bagi Allah, kami memujiNya dan memohon pertolongan serta ampunan kepadaNya. Kami berlindung kepada Allah dari kejahatan diri kami dan keburukan amal keburukan kami. Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka tidak ada seorang pun yang dapat menyesatkannya, dan barangsiapa yang disesatkan Allah,
maka tidak ada seorang pun yang dapat memberinya petunjuk. Aku bersaksi tidak ada Tuhan yang berhak diibadahi kecuali hanya Allah, tidak ada sekutu bagiNya, dan aku bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah hamba dan rasulNya. Semoga shalawat dan salam dicurahkan kepadanya, keluarganya, dan seluruh sahabatnya.
Amma ba’du :
Ini adalah sebuah risalah yang sederhana ukurannya akan tetapi sarat dengan ilmu karena di dalamnya mengandung ayat-ayat Al Quran, hadits-hadits Rasulullah, atsar para sahabat dan para salaf yang mulia.Saya mengumpulkannya dalam "Fiqih I'tikaf" karena bab yang agung ini telah dilumuri oleh bermacam-macam masalah yang pada umumnya para tholibul ilmi banyak berbuat kesalahan di dalamnya, dan juga genderang-genderang masyhur yang dikobarkan pada zaman ini, semuanya itu memerlukan jawaban dan penjelasan akan kelemahan hujjah-hujjahnya.

Saya memaparkan pasal-pasal risalah ini dengan panjang lebar, dan berusaha meringkasnya untuk mencegah timbulnya kesulitan dan kejenuhan, serta untuk mempermudah pembaca yang mulia untuk memahami makna-maknanya serta mencapai maksud yang diinginkan.
Dan saya memohon kepada Allah Yang Maha Agung agar menjadikan tulisan yang sederhana ini dalam timbangan amalan kami pada hari kiamat, sesungguhnya Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.

Ditulis Oleh :

(Abu Abdirrahman Amru Abdul Mun'im Salim)


Pensyariatan I'tikaf

I'tikaf merupakan sunnah dari sunnah-sunnah yang dianjurkan, adalah Nabi - shallallahu ‘alaihi wa sallam -, selalu mengerjakannya(I’tikaf) hingga akhir hayat beliau.Sebagaimana yang telah disebutkan dalam hadits Ummul Mukminin Aisyah - radhiallahu anha - :

أن النبي – صلى الله عليه و سلم – كان يعتكف العشر الأواخر من رمضان حتى قبضه الله .

Artinya : "Bahwasanya Nabi - shallallahu' alaihi wa sallam - beri'tikaf pada sepuluh hari terakhir pada bulan ramadhan hingga Allah mewafatkan beliau".[1]

Dalil disyariatkannya i'tikaf adalah firman Allah –subhanahu wata’ala-,  

و لا تباشروهن و أنتم عاكفون في المساجد (البقرة : 187).

Artinya : Dan janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf dalam masjid. (Q.S Al Baqarah ; 187).

Kapan Dibolehkannya Beri'tikaf?

I'tikaf boleh dilakukan sepanjang tahun dan tidak dikhususkan pada bulan ramadhan saja, walaupun memang pada 10 (sepuluh) malam terakhir  bulan ramadhan sangat dianjurkan dari yang lainnya, berdasarkan contoh dari Nabi  - shallallahu alaihi wa sallam - sebagaimana telah berlalu penyebutannya pada hadits Aisyah - radhiallahu anha -.

Dari Abdullah bin Umar - radhiallahu anhu -, beliau berkata :
كان رسول الله – صلى الله عليه و سلم –  يعتكف العشر الأواخر من رمضان .

Artinya : "Adalah Rasulullah - shallallahu alaihi wa sallam - beri'tikaf pada sepuluh malam terakhir bulan ramadhan .[2]

Dalil disyariatkannya i'tikaf pada selain bulan ramadhan :
Apa yang telah disebutkan dari hadits Ummul Mukminin Aisyah - radhiallahu anha - beliau berkata :

كان رسول الله – صلى الله عليه و سلم – يعتكف في كل رمضان فإذا صلى الغداة دخل مكانه الذي اعتكف فيه , قال : فاستأذنته عائشة أن تعتكف , فأذن لها , فضربت فيه قبة , فسمعت بها حفصة , فضربت قبة , و سمعت زينب بها فضربت قبة أخرى , فلما انصرف رسول الله – صلى عليه و سلم – من الغداة أبصر أربع قباب , فقال : "ما هذا ؟" فأخبر خبرهن , فقال : "ما حملهن على هذا ؟" آلبر ؟ انزعوها و فلا أراها ". فنزعت , فلم يعتكف في رمضان , حتى اعتكف في آخر عشر من شوال .

Artinya : "Adalah Rasulullah - shallallahu alaihi wa sallam -, i'tikaf pada tiap bulan ramadhan, apabila beliau selesai dari sholat shubuh, beliau masuk ke tempat i'tikaf beliau. Berkata Rowi : Kemudian Aisyah meminta izin kepada beliau untuk beri'tikaf , maka Rasulullah - shallallahu alaihi wa sallam - mengizinkannya , kemudian Aisyah membuat kemah di tempat tersebut, lalu Hafshoh mendengarnya , kemudian dia pun membuat kemah . Kemudian Zainab mendengarnya , kemudian dia pun membuat kemah. Maka ketika Rasulullah - shallallahu alaihi wa sallam - kembali dari sholat shubuh , beliau melihat 4 (empat) kemah , kemudia berkata ; "Apa ini ?", kemudian beliau dikabarkan apa yang terjadi , maka beliau berkata : "Apa yang membuat mereka melakukan hal ini ? , apakah termasuk perbuatan baik ? , lepaskanlah hingga aku tidak melihatnya".Kemudian kemah-kemah itu dilepas, dan beliau tidak beri'tikaf pada bulan ramadhan sehingga beliau beri'tikaf pada 10 (sepuluh) hari terakhir bulan syawal".[3]

Dan dari Umar bin Khottob - radhiallahu anhu - bahwasanya beliau berkata :

يا رسول الله , إني نذرت في الجاهلية أن أعتكف ليلة في المسجد الحرام , فقال له النبي - صلى الله عليه و سلم - : أوف نذرك , فاعتكف ليلة .

Artinya : Wahai Rasulullah , sesungguhnya aku bernadzar pada masa jahiliyyah untuk beri'tikaf 1 (satu) malam di masjid al haram , maka Nabi - shallallahu alaihi wa sallam - bersabda : "Tunaikanlah nadzarmu". Kemudian Umar beri'tikaf 1 (satu) malam .[4]

Syarat-syarat I'tikaf

I'tikaf mempunyai beberapa syarat yang terkumpul dalam hadits Ummul Mukminin Aisyah - radhiallahu anha - , beliau berkata :

السنة على المعتكف : أن لا يعود مريضا , ولا يشهد جنازة , و لا يمس امرأة , و لا يباشرها , و لا يخرج لحاجة إلا لما لا بد منه , ولا اعتكاف إلا بصوم , ولا اعتكاف إلا في مسجد جامع .

Artinya : "Disunnahkan atas orang yang beri'tikaf untuk tidak menjenguk orang sakit , tidak menghadiri sholat jenazah , tidak menggauli istri , tidak mencumbuinya , tidak keluar kecuali untuk kebutuhan yang mendesak yang harus ditunaikan , dan tidak ada i'tikaf kecuali dibarengi dengan puasa , serta tidak boleh beri'tikaf kecuali di masjid jami' " .[5]

Dan syarat-syarat ini adalah :
1. Berpuasa, Berdasarkan perkataan Aisyah - radhiallahu anha - :

ولا اعتكاف إلا بصوم .

Artinya : "Tidak ada i'tikaf kecuali dibarengi dengan puasa" .
Dan nampaknya , perkataan ini sebatas anjuran atau ini adalah pendapat Ummul Mukminin Aisyah - radhiallahu anha - , dan bukan termasuk sunnah yang telah disebutkan oleh Aisyah - radhiallahu anha - di awal hadits sebagaiman yang dipahami dari konteks hadits .

Dan telah berlalu penyebutan hadits Umar bin Khottob - radhiallahu anhu -, bahwasannya dia berkata :

يا رسول الله , إني نذرت في الجاهلية أن أعتكف ليلة في المسجد الحرام , فقال له النبي – صلى الله عليه و سلم – : أوف نذرك , فاعتكف ليلة .

 Artinya : "Wahai Rasulullah , sesungguhnya aku bernadzar pada masa jahiliyyah untuk beri'tikaf 1 (satu) malam di masjid al haram , maka Nabi - shallallahu alaihi wa sallam - bersabda : "Tunaikanlah nadzarmu".Kemudian Umar beri'tikaf 1 (satu) malam .

Imam Bukhari - rahimahullah - telah berdalil dengan hadits ini , atas tidak wajibnya berpuasa dalam I'tikaf , karena Nabi - shallallahu alaihi wa sallam - memerintahkan Umar bin Khottob untuk menunaikan nadzarnya , kemudian Umar beri'tikaf  malam hari, dan ini tidak mengharuskan adanya puasa , sebagaimana yang ditunjukkan oleh lafadz hadits .

Imam Bukhari telah membuat bab tentang masalah ini dalam shohihnya (2/69).[ Bab : Orang Yang Tidak Berpendapat Disyariatkannya Berpuasa Jika Beri'tikaf ] .
Al 'Aini berkata dalam Syarah Bukhari (11/146) :

قال الكرماني : فيه أنه لا يشترط الصوم لصحة الاعتكاف .


Artinya : "Al Kirmani berkata : Dalam hadits ini menunjukkan, Bahwasanya tidak disyaratkan berpuasa untuk sahnya I'tikaf " .
Dan inilah yang dirajihkan oleh Al Hafidz Ibnu Hajar dalam Fathul Bari (4/322) .

Dan ini adalah pendapat yang tepat , ditambah lagi dengan dhoifnya (lemahnya) hadits yang menyebutkan wajibnya berpuasa dalam I'tikaf.[6]

Adapun Syaikhul Islam Ibnul Qoyyim - Rahimahullah -, merajihkan adanya pensyaratan berpuasa dalam beri'tikaf , beliau - rahimahullah - berkata dalam Zadul Ma'ad (2/87-88) : "Tidak pernah dinukil sama sekali dari Nabi - shallallahu alaihi wa sallam - bahwasanya beliau beri'tikaf dalam keadaan tidak berpuasa , bahkan Aisyah telah berkata : "Tidak ada I'tikaf kecuali dibarengi dengan dengan puasa" , dan Rasulullah - shallallahu alaihi wa sallam -, tidak pernah beri'tikaf kecuali dengan berpuasa , maka pendapat yang rajih berdasarkan dalil yang dijadikan sandaran oleh kebanyakan ulama salaf : bahwasannya berpuasa adalah syarat I'tikaf , dan inilah yang dirajihkan oleh Syaikul Islam Abul abbas Ibnu Taimiyyah " .

Saya (Muallif) mengatakan : Bahkan Dalil-dalil tersebut dinukil dengan sanad-sanad yang shohih dari sekelompok salaf , diantaranya : Aisyah , sebagaimana yang telah lalu , Ibnu Abbas - Radhiallahu anhuma - , Urwah bin Az Zubair , Zuhri , dan Ibrohim An Nakho'i .[7]
Dan juga diriwayatkan dari Ibnu Umar akan tetapi dengan sanad yang tidak shohih .[8]
Dalam masalah ini terdapat 2 (dua) riwayat dari Ahmad , dan yang paling shohih adalah (berpuasa dalam I'tikaf) hukumnya sunnah , ini adalah riwayat Hanbal , Abu Tholib , Ali bin Said , dan ini adalah riwayat Ishaq An Naisaburi.[9]

Dan adapun perkataan mereka : Sesungguhnya Allah - azza wa jalla - tidaklah menyebutkan I'tikaf kecuali dengan puasa, maka tidak ada dalam ayat yang mengharuskan adanya keterkaitan antara keduanya , dan jika tidak demikian adanya , maka tidak ada puasa kecuali dengan beri'tikaf , dan tidak ada yang mengatakan demikian .[10]

2. Dilaksanakan Di Masjid Jami'.
Yaitu masjid yang didirikan semua sholat di dalamnya . Dan dalil atas pensyaratannya :
Firman Allah ta'ala :

و لا تباشروهن و أنتم عاكفون في المساجد (البقرة : 187).

Artinya : Dan janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf dalam masjid. (Q.S Al Baqarah ; 187).

Perkataan Ummul Mukminin Aisyah - radhiallahu anha - :

ولا اعتكاف إلا في مسجد جامع .

Artinya : dan tidak ada i'tikaf kecuali di masjid jami' .

Dan adapun orang-orang yang mengkhususkan masjid-masjid, sebagaimana yang tersebut dalam sebagian riwayat yang dhoif dari hadits Hudzaifah bin Al Yaman - radhiallahu anhu -, bahwasannya masjid-masjid tersebut adalah masjid yang 3 (tiga) (yaitu masjid Al Haram , masjid Nabawi , masjid Al Aqsho) , maka ini tidak benar , bahkan perkataan ini menyelisihi keumuman ayat yang telah lalu .

Dan hadits yang menjelaskan tentang ini(mengkhususkan masjid-masjid tertentu) adalah hadits yang dhoif , sebagaimana telah saya jelaskan dengan detail dalam kitab saya 'Shounu Asy Syar'i Al-Hanif.

Dan adapun berhujjah atas yang demikian itu(mengkhususkan masjid-masjid tertentu untuk I'tikaf), karena beberapa salaf , seperti Ibnul Musayyib dan Atho telah berpendapat dengannya, maka ini perlu di perinci :

Adapun perkataan Ibnul Musayyib :
Ibnu Abi Syaibah telah mengeluarkan dari Ibnul Musayyib (2/337) dari jalan : Hammam bin Yahya , dari Qotadah , dari Ibnul Musayyib , dia berkata :
لا اعتكاف إلا في مسجد نبي .

Artinya : Tidak ada I'tikaf kecuali di masjid nabi .

Saya (muallif) mengatakan : Riwayat ini berdasarkan kaidah mutaqoddimin(ulama' terdahulu) adalah riwayat yang syadz[11] , karena Hammam bin Yahya telah menyendiri dengan riwayat ini , dan dia bukan termasuk murid Qotadah yang atsbat (kuat) dan tsiqoh (terpercaya) , Al Bardiji menganggap bahwa menyendirinya salah satu perawi yang atsbat dan tsiqoh dari murid-murid Qotadah dengan suatu hadits , tidak ada yang mengikutinya  dari murid-murid yang lain , maka termasuk riwayat yang mungkar , sebagaimana hal ini telah dinukil oleh Ibnu Rajab dari Al Bardiji dalam kitab Syarah 'Ilal Tirmidzi hal. 282 . Dan kepada pendapat inilah  , perkataan Imam Muslim mengarah dalam muqoddimah shohihnya , dimana beliau menyebutkan kaidah ini secara umum dan memisalkan dengannya dengan Az Zuhri dan Hisyam bin Urwah .
Jika seperti ini keadaan hadits di tingkatan pertama dari murid-murid Qotadah , maka bagaimana di tingkatan syuyukhnya(di bawah tingkatan atsbat ats-tsiqot) ?
Maka jika dikatakan : Akan tetapi Hammam bin Yahya telah dimutaba'ah oleh Abdurrazzaq (4/346) , dari Ma'mar , dari Qotadah – menurut sangkaan saya  - , dari Ibnul Musayyib , dia berkata :

 لا اعتكاف إلا في مسجد النبي  – صلى الله عليه و سلم –  .

Artinya : "Tidak ada I'tikaf kecuali di masjid Nabi – shallallahu alaihi wa sallam –" .

Maka jawabannya adalah : Sesungguhnya Ma'mar bin Rasyid adalah dhoif pada riwayatnya dari Qotadah , dia telah mendengar hadits dari Qotadah ketika masih kecil ,, sehingga dia tidak menghafalnya , dan dia juga ragu – sebagaimana yang kamu lihat - , dia berkata : "menurut sangkaan saya" , sedangkan keragu-raguan dalam sanad dapat membuat sebuah hadits menjadi cacat , sebagaimana telah aku jelaskan dalam "An Naqdu Ash Shorih" . Ini dari satu sisi .

Adapun dari sisi yang lain , Ma'mar telah menyelisihi Qotadah dalam matan , karena dia mendkhususkan masjid Nabi - shallallahu alaihi wa sallam - , maka tidak ada dalam atsar ini sesuatu yang menguatkan pendapat yang dibangun atas dasar hadits Hudzaifah bin Al Yaman , yang telah berlalu pendhoifannya , bahkan ini adalah perkataan lain yang mengkhususkan I'tikaf di masjid Nabi - shallallahu alaihi wa sallam - .

Adapun atsar Atho' bin Abi Rabah :
Abdurrazzaq telah mengeluarkannya (4/349) :
Dari Ibnu Juraij , dari Atho' , dia berkata :

لا جوار إلا في مسجد جامع , ثم قال : لا جوار إلا في مسجد مكة , و مسجد المدينة .

Artinya : " Tidak ada I'tikaf kecuali dia masjid jami' , kemudian Atho' berkata : Tidak ada I'tikaf kecuali di masjid makkah , tidak ada I'tikaf kecuali di masjid madinah " .
Dan dalam atsar yang lain , Ibnu Juraij berkata : " Aku berkata kepada Atho' : "Bagaimana dengan masjid Iliya' ?" , dia berkata : "Tidak dilaksanakan I'tikaf kecuali di masjid makkah dan masjid madinah .

2 (dua) atsar ini adalah atsar yang shohih , akan tetapi keduanya telah menyelisihi hadits Hudzaifah bin Al Yaman – sebagaimana yang kamu lihat – dalam meninngalkan I'tikaf di masjid Al Aqsho – Ilya' – yang menunjukkan bahwa hujjah menurut Atho' bukan dengan hadits ini , karena kalau seandainya Atho' berhujjah dengan hadits tersebut , dia akan mengatakan bolehnya I'tikaf di masjid Al Aqsho , dan ketika perkaranya sesuai yang kami jelaskan , maka jelaslah bahwa hal tersebut adalah pendapat Atho' bin Abi Rabah , dan ijtihad beliau , ijtihad beliau ini tertolak dengan keumuman firman Allah ta'ala :

ولا تباشروهن و أنتم عاكفون في المساجد .(البقرة : 187) .

Artinya :   : Dan janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf dalam masjid. (Q.S Al Baqarah ; 187) .
Dan juga dengan atsar Ummul Mukminin Aisyah – radhiallahu anha - , bahkan dalam hadits Hudzaifah menunjukkan adanya pengingkaran Ibnu Mas'ud terhadap pendapat Hudzaifah dan penyanggahannya terhadapnya .
Dan perkataan tabi'in tidak wajib diikuti , lebih-lebih apabila menyelisihi dalil . Dan pendapat bahwa bolehnya beri'tikaf di selain 3 (tiga) masjid tersebut , adalah perkataan para imam yang terpercaya – rahimahumullah - .



[1].Hadits shohih dikeluarkan oleh Bukhari 1/344, Muslim 2/831, Abu Dawud no hadits 2462 dari jalan Aqil bin Kholid, dari Zuhri, dari Urwah, dari Aisyah - radhiallahu anha -.
[2] .Hadits shohih dikeluarkan oleh Bukhari 2/65, Muslim 2/830, Abu Dawud no hadits 2465, Ibnu Majah no hadits 1773 dari jalan Yunus bin Yazid, dari Nafi', dari Ibnu Umar – Radhiallahu anhu - ).
3 .Hadits shohih dikeluarkan oleh sekelompok ulama dari jalan Yahya bin Said Al Anshori, dari Amroh, dari Aisyah.Dan hadits ini terdapat didalam shohih Bukhari 2/69.
[4] .Hadis shohih dikeluarkan oleh sekelompok ulama dari jalan nafi', dari ibnu 'umar, dari 'umar - Radhiallahu 'Anhu -.Dan hadits ini terdapat didalam shohih Bukhari 2/69 - 70
[5] .Hadits shohih dikeluarkan oleh Abu Dawud no hadits 2473 , Baihaqi dalam Al Kubro 4/321 dari jalan Abdurrahman bin Ishaq , dari Zuhri , dari Urwah , dari Aisyah - radhiallahu anha -.
[6].yaitu hadits yang dikeluarkan oleh Abu Dawud no hadits 2474 dari jalan : Abdullah bin Budail , dari Amru bin Dinar , dari Ibnu Umar : Bahwasanya Umar - radhiallahu anhu - menetapkan untuk dirinya, beri'tikaf pada masa jahiliyyah selama 1 (satu) malam – 1 (satu) hari – di ka'bah , kemudian dia bertanya kepada Nabi , kemudian Nabi menjawab : "Beri'tikaf dan berpuasalah" .
Saya (muallif) mengatakan : Dan ini adalah riwayat yang mungkar , Abdullah bin Budail telah menyelisihi hadits yang mahfudz dari Ibnu Umar tentang kejadian ini , dan Abdullah bin Budail ini adalah orang yang dhoiful hadits(lemah haditsnya). Dan hadits ini telah didhoifkan oleh Daruquthni , Ibnu Adi , dan Al Hafidz Ibnu Hajar).

[7].Dalam Mushonnaf Abdurrazzaq 4/353 , Ibnu Abi Syaibah 2/333.
[8].Dalam Mushonnaf Abdurrazzaq dari riwayat Atho' bin Abi Rabah dari Ibnu Umar , dan Atho tidak pernah mendengar dari Ibnu Umar , akan tetapi hanya melihatnya sekali.
[9].Lihat kitab Ar Riwayataini Wal wajhaini 1/267. Dan juga lihat kitab Masail Ishaq bin Ibrahim bin Hani' An Naisaburi no 676
[10].Lihat Fathul Bari 4/323.
[11] .Hadits syadz adalah  Seorang Perawi hadits yang makbul(diterima) haditsnya, menyelisihi riwayat seorang perawi yang lebih tinggi kedudukannya.

0 komentar:

Posting Komentar

Site search