Karya : Amru Bin Abdul Mun'im Salim
Alih Bahasa : Yanuarizki Wofi Amalia
Muqoddimah
Alih Bahasa : Yanuarizki Wofi Amalia
Muqoddimah
Sesungguhnya segala puji bagi Allah, kami memujiNya dan
memohon pertolongan serta ampunan kepadaNya. Kami berlindung kepada Allah dari
kejahatan diri kami dan keburukan amal keburukan kami. Barangsiapa yang diberi
petunjuk oleh Allah, maka tidak ada seorang pun yang dapat menyesatkannya, dan
barangsiapa yang disesatkan Allah,
maka tidak ada seorang pun yang dapat memberinya petunjuk. Aku bersaksi tidak ada Tuhan yang berhak diibadahi kecuali hanya Allah, tidak ada sekutu bagiNya, dan aku bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah hamba dan rasulNya. Semoga shalawat dan salam dicurahkan kepadanya, keluarganya, dan seluruh sahabatnya.
maka tidak ada seorang pun yang dapat memberinya petunjuk. Aku bersaksi tidak ada Tuhan yang berhak diibadahi kecuali hanya Allah, tidak ada sekutu bagiNya, dan aku bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah hamba dan rasulNya. Semoga shalawat dan salam dicurahkan kepadanya, keluarganya, dan seluruh sahabatnya.
Amma ba’du
:
Ini adalah sebuah risalah yang sederhana ukurannya
akan tetapi sarat dengan ilmu karena di dalamnya mengandung ayat-ayat Al Quran,
hadits-hadits Rasulullah, atsar para sahabat dan para salaf yang mulia.Saya
mengumpulkannya dalam "Fiqih I'tikaf" karena bab yang agung ini telah
dilumuri oleh bermacam-macam masalah yang pada umumnya para tholibul ilmi banyak
berbuat kesalahan di dalamnya, dan juga genderang-genderang masyhur yang dikobarkan
pada zaman ini, semuanya itu memerlukan jawaban dan penjelasan akan kelemahan
hujjah-hujjahnya.
Saya memaparkan pasal-pasal risalah ini dengan
panjang lebar, dan berusaha meringkasnya untuk mencegah timbulnya kesulitan dan
kejenuhan, serta untuk mempermudah pembaca yang mulia untuk memahami
makna-maknanya serta mencapai maksud yang diinginkan.
Dan saya memohon kepada Allah Yang Maha Agung agar
menjadikan tulisan yang sederhana ini dalam timbangan amalan kami pada hari
kiamat, sesungguhnya Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.
Ditulis Oleh :
(Abu Abdirrahman Amru Abdul Mun'im Salim)
Pensyariatan I'tikaf
I'tikaf merupakan sunnah dari sunnah-sunnah yang
dianjurkan, adalah Nabi - shallallahu ‘alaihi wa sallam -, selalu
mengerjakannya(I’tikaf) hingga akhir hayat beliau.Sebagaimana yang telah
disebutkan dalam hadits Ummul Mukminin Aisyah - radhiallahu anha - :
أن
النبي – صلى الله عليه و سلم – كان يعتكف العشر الأواخر من رمضان حتى قبضه الله .
Artinya :
"Bahwasanya Nabi - shallallahu' alaihi wa sallam - beri'tikaf pada
sepuluh hari terakhir pada bulan ramadhan hingga Allah mewafatkan beliau".[1]
Dalil disyariatkannya i'tikaf adalah firman Allah –subhanahu
wata’ala-,
و
لا تباشروهن و أنتم عاكفون في المساجد (البقرة : 187).
Artinya :
Dan janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf dalam masjid. (Q.S
Al Baqarah ; 187).
Kapan Dibolehkannya Beri'tikaf?
I'tikaf boleh dilakukan sepanjang tahun dan tidak
dikhususkan pada bulan ramadhan saja, walaupun memang pada 10 (sepuluh) malam
terakhir bulan ramadhan sangat
dianjurkan dari yang lainnya, berdasarkan contoh dari Nabi - shallallahu alaihi wa sallam - sebagaimana
telah berlalu penyebutannya pada hadits Aisyah - radhiallahu anha -.
Dari Abdullah bin Umar - radhiallahu anhu -,
beliau berkata :
كان رسول
الله – صلى الله عليه و سلم – يعتكف العشر
الأواخر من رمضان .
Artinya :
"Adalah Rasulullah - shallallahu alaihi wa sallam - beri'tikaf pada
sepuluh malam terakhir bulan ramadhan .[2]
Dalil disyariatkannya i'tikaf pada selain bulan
ramadhan :
Apa yang telah disebutkan dari hadits Ummul Mukminin
Aisyah - radhiallahu anha - beliau berkata :
كان
رسول الله – صلى الله عليه و سلم – يعتكف في كل رمضان فإذا صلى الغداة دخل مكانه
الذي اعتكف فيه , قال : فاستأذنته عائشة أن تعتكف , فأذن لها , فضربت فيه قبة ,
فسمعت بها حفصة , فضربت قبة , و سمعت زينب بها فضربت قبة أخرى , فلما انصرف رسول
الله – صلى عليه و سلم – من الغداة أبصر أربع قباب , فقال : "ما هذا ؟"
فأخبر خبرهن , فقال : "ما حملهن على هذا ؟" آلبر ؟ انزعوها و فلا أراها
". فنزعت , فلم يعتكف في رمضان , حتى اعتكف في آخر عشر من شوال .
Artinya :
"Adalah Rasulullah - shallallahu alaihi wa sallam -, i'tikaf pada
tiap bulan ramadhan, apabila beliau selesai dari sholat shubuh, beliau masuk ke
tempat i'tikaf beliau. Berkata Rowi : Kemudian Aisyah meminta izin kepada beliau
untuk beri'tikaf , maka Rasulullah - shallallahu alaihi wa sallam -
mengizinkannya , kemudian Aisyah membuat kemah di tempat tersebut, lalu Hafshoh
mendengarnya , kemudian dia pun membuat kemah . Kemudian Zainab mendengarnya ,
kemudian dia pun membuat kemah. Maka ketika Rasulullah - shallallahu alaihi
wa sallam - kembali dari sholat shubuh , beliau melihat 4 (empat) kemah ,
kemudia berkata ; "Apa ini ?", kemudian beliau dikabarkan apa yang
terjadi , maka beliau berkata : "Apa yang membuat mereka melakukan hal ini
? , apakah termasuk perbuatan baik ? , lepaskanlah hingga aku tidak
melihatnya".Kemudian kemah-kemah itu dilepas, dan beliau tidak beri'tikaf
pada bulan ramadhan sehingga beliau beri'tikaf pada 10 (sepuluh) hari terakhir
bulan syawal".[3]
Dan dari Umar bin Khottob - radhiallahu anhu -
bahwasanya beliau berkata :
يا
رسول الله , إني نذرت في الجاهلية أن أعتكف ليلة في المسجد الحرام , فقال له النبي
- صلى الله عليه و سلم - : أوف نذرك , فاعتكف
ليلة .
Artinya :
Wahai Rasulullah , sesungguhnya aku bernadzar pada masa jahiliyyah untuk
beri'tikaf 1 (satu) malam di masjid al haram , maka Nabi - shallallahu
alaihi wa sallam - bersabda : "Tunaikanlah nadzarmu". Kemudian
Umar beri'tikaf 1 (satu) malam .[4]
Syarat-syarat
I'tikaf
I'tikaf mempunyai beberapa syarat yang terkumpul
dalam hadits Ummul Mukminin Aisyah - radhiallahu anha - , beliau berkata
:
السنة
على المعتكف : أن لا يعود مريضا , ولا يشهد جنازة , و لا يمس امرأة , و لا يباشرها
, و لا يخرج لحاجة إلا لما لا بد منه , ولا اعتكاف إلا بصوم , ولا اعتكاف إلا في
مسجد جامع .
Artinya : "Disunnahkan
atas orang yang beri'tikaf untuk tidak menjenguk orang sakit , tidak menghadiri
sholat jenazah , tidak menggauli istri , tidak mencumbuinya , tidak keluar
kecuali untuk kebutuhan yang mendesak yang harus ditunaikan , dan tidak ada
i'tikaf kecuali dibarengi dengan puasa , serta tidak boleh beri'tikaf kecuali di
masjid jami' " .[5]
Dan syarat-syarat ini adalah :
1. Berpuasa, Berdasarkan perkataan Aisyah - radhiallahu anha - :
ولا
اعتكاف إلا بصوم .
Artinya : "Tidak
ada i'tikaf kecuali dibarengi dengan puasa" .
Dan nampaknya , perkataan ini sebatas anjuran atau
ini adalah pendapat Ummul Mukminin Aisyah - radhiallahu anha - , dan
bukan termasuk sunnah yang telah disebutkan oleh Aisyah - radhiallahu anha -
di awal hadits sebagaiman yang dipahami dari konteks hadits .
Dan telah berlalu penyebutan hadits Umar bin Khottob -
radhiallahu anhu -, bahwasannya dia berkata :
يا
رسول الله , إني نذرت في الجاهلية أن أعتكف ليلة في المسجد الحرام , فقال له النبي
– صلى الله عليه و سلم – : أوف نذرك , فاعتكف ليلة .
Artinya : "Wahai
Rasulullah , sesungguhnya aku bernadzar pada masa jahiliyyah untuk beri'tikaf 1
(satu) malam di masjid al haram , maka Nabi - shallallahu alaihi wa sallam -
bersabda : "Tunaikanlah nadzarmu".Kemudian Umar beri'tikaf 1
(satu) malam .
Imam Bukhari - rahimahullah - telah
berdalil dengan hadits ini , atas tidak wajibnya berpuasa dalam I'tikaf ,
karena Nabi - shallallahu alaihi wa sallam - memerintahkan Umar bin
Khottob untuk menunaikan nadzarnya , kemudian Umar beri'tikaf malam hari, dan ini tidak mengharuskan adanya
puasa , sebagaimana yang ditunjukkan oleh lafadz hadits .
Imam Bukhari telah membuat bab tentang masalah ini
dalam shohihnya (2/69).[ Bab : Orang Yang Tidak Berpendapat Disyariatkannya
Berpuasa Jika Beri'tikaf ] .
Al 'Aini berkata dalam Syarah Bukhari (11/146) :
قال
الكرماني : فيه أنه لا يشترط الصوم لصحة الاعتكاف .
Artinya :
"Al Kirmani berkata : Dalam hadits ini menunjukkan, Bahwasanya tidak
disyaratkan berpuasa untuk sahnya I'tikaf " .
Dan inilah yang dirajihkan oleh Al Hafidz Ibnu Hajar
dalam Fathul Bari
(4/322) .
Dan ini adalah pendapat yang tepat , ditambah lagi
dengan dhoifnya (lemahnya) hadits yang menyebutkan wajibnya berpuasa dalam
I'tikaf.[6]
Adapun Syaikhul Islam Ibnul Qoyyim - Rahimahullah -, merajihkan adanya pensyaratan berpuasa dalam beri'tikaf , beliau -
rahimahullah - berkata dalam Zadul Ma'ad (2/87-88) : "Tidak pernah
dinukil sama sekali dari Nabi - shallallahu alaihi wa sallam - bahwasanya
beliau beri'tikaf dalam keadaan tidak berpuasa , bahkan Aisyah telah berkata :
"Tidak ada I'tikaf kecuali dibarengi dengan dengan puasa" , dan
Rasulullah - shallallahu alaihi wa sallam -, tidak pernah beri'tikaf
kecuali dengan berpuasa , maka pendapat yang rajih berdasarkan dalil yang
dijadikan sandaran oleh kebanyakan ulama salaf : bahwasannya berpuasa adalah
syarat I'tikaf , dan inilah yang dirajihkan oleh Syaikul Islam Abul abbas Ibnu
Taimiyyah " .
Saya (Muallif) mengatakan : Bahkan Dalil-dalil
tersebut dinukil dengan sanad-sanad yang shohih dari sekelompok salaf ,
diantaranya : Aisyah , sebagaimana yang telah lalu , Ibnu Abbas -
Radhiallahu anhuma - , Urwah bin Az Zubair , Zuhri , dan Ibrohim An Nakho'i
.[7]
Dan juga diriwayatkan dari Ibnu Umar akan tetapi
dengan sanad yang tidak shohih .[8]
Dalam masalah ini terdapat 2 (dua) riwayat dari Ahmad
, dan yang paling shohih adalah (berpuasa dalam I'tikaf) hukumnya sunnah , ini
adalah riwayat Hanbal , Abu Tholib , Ali bin Said , dan ini adalah riwayat
Ishaq An Naisaburi.[9]
Dan adapun perkataan mereka : Sesungguhnya Allah -
azza wa jalla - tidaklah menyebutkan I'tikaf kecuali dengan puasa, maka
tidak ada dalam ayat yang mengharuskan adanya keterkaitan antara keduanya , dan
jika tidak demikian adanya , maka tidak ada puasa kecuali dengan beri'tikaf ,
dan tidak ada yang mengatakan demikian .[10]
2. Dilaksanakan Di Masjid Jami'.
Yaitu masjid yang didirikan semua sholat di dalamnya
. Dan dalil atas pensyaratannya :
Firman Allah ta'ala :
و
لا تباشروهن و أنتم عاكفون في المساجد (البقرة : 187).
Artinya :
Dan janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf dalam masjid. (Q.S
Al Baqarah ; 187).
Perkataan Ummul Mukminin Aisyah - radhiallahu anha
- :
ولا
اعتكاف إلا في مسجد جامع .
Artinya : dan
tidak ada i'tikaf kecuali di masjid jami' .
Dan adapun orang-orang yang mengkhususkan
masjid-masjid, sebagaimana yang tersebut dalam sebagian riwayat yang dhoif dari
hadits Hudzaifah bin Al Yaman - radhiallahu anhu -, bahwasannya
masjid-masjid tersebut adalah masjid yang 3 (tiga) (yaitu masjid Al Haram ,
masjid Nabawi , masjid Al Aqsho) , maka ini tidak benar , bahkan perkataan ini
menyelisihi keumuman ayat yang telah lalu .
Dan hadits yang menjelaskan tentang ini(mengkhususkan
masjid-masjid tertentu) adalah hadits yang dhoif , sebagaimana telah saya
jelaskan dengan detail dalam kitab saya 'Shounu Asy Syar'i Al-Hanif.
Dan adapun berhujjah atas yang demikian
itu(mengkhususkan masjid-masjid tertentu untuk I'tikaf), karena beberapa salaf
, seperti Ibnul Musayyib dan Atho telah berpendapat dengannya, maka ini perlu
di perinci :
Adapun perkataan Ibnul Musayyib :
Ibnu Abi Syaibah telah mengeluarkan dari Ibnul
Musayyib (2/337) dari jalan : Hammam bin Yahya , dari Qotadah , dari Ibnul
Musayyib , dia berkata :
لا
اعتكاف إلا في مسجد نبي .
Artinya :
Tidak ada I'tikaf kecuali di masjid nabi .
Saya (muallif) mengatakan : Riwayat ini berdasarkan
kaidah mutaqoddimin(ulama' terdahulu) adalah riwayat yang syadz[11] ,
karena Hammam bin Yahya telah menyendiri dengan riwayat ini , dan dia bukan
termasuk murid Qotadah yang atsbat (kuat) dan tsiqoh (terpercaya) , Al Bardiji
menganggap bahwa menyendirinya salah satu perawi yang atsbat dan tsiqoh dari
murid-murid Qotadah dengan suatu hadits , tidak ada yang mengikutinya dari murid-murid yang lain , maka termasuk
riwayat yang mungkar , sebagaimana hal ini telah dinukil oleh Ibnu Rajab dari
Al Bardiji dalam kitab Syarah 'Ilal Tirmidzi hal. 282 .
Dan kepada pendapat inilah , perkataan
Imam Muslim mengarah dalam muqoddimah shohihnya , dimana beliau menyebutkan
kaidah ini secara umum dan memisalkan dengannya dengan Az Zuhri dan Hisyam bin
Urwah .
Jika seperti ini keadaan hadits di tingkatan pertama
dari murid-murid Qotadah , maka bagaimana di tingkatan syuyukhnya(di bawah tingkatan
atsbat ats-tsiqot) ?
Maka jika dikatakan : Akan tetapi Hammam bin Yahya
telah dimutaba'ah oleh Abdurrazzaq (4/346) , dari Ma'mar , dari Qotadah –
menurut sangkaan saya - , dari Ibnul
Musayyib , dia berkata :
لا اعتكاف إلا في مسجد النبي – صلى
الله عليه و سلم – .
Artinya : "Tidak ada I'tikaf kecuali di masjid
Nabi – shallallahu alaihi wa sallam –" .
Maka jawabannya adalah : Sesungguhnya Ma'mar bin
Rasyid adalah dhoif pada riwayatnya dari Qotadah , dia telah mendengar hadits
dari Qotadah ketika masih kecil ,, sehingga dia tidak menghafalnya , dan dia
juga ragu – sebagaimana yang kamu lihat - , dia berkata : "menurut
sangkaan saya" , sedangkan keragu-raguan dalam sanad dapat membuat
sebuah hadits menjadi cacat , sebagaimana telah aku jelaskan dalam "An
Naqdu Ash Shorih" . Ini dari satu sisi .
Adapun dari sisi yang lain , Ma'mar telah menyelisihi
Qotadah dalam matan , karena dia mendkhususkan masjid Nabi - shallallahu alaihi
wa sallam - , maka tidak ada dalam atsar ini sesuatu yang menguatkan pendapat yang dibangun atas dasar hadits Hudzaifah
bin Al Yaman , yang telah berlalu pendhoifannya , bahkan ini adalah perkataan
lain yang mengkhususkan I'tikaf di masjid Nabi - shallallahu alaihi wa sallam -
.
Adapun atsar Atho' bin Abi Rabah :
Abdurrazzaq telah mengeluarkannya (4/349) :
Dari Ibnu Juraij , dari Atho' , dia berkata :
لا
جوار إلا في مسجد جامع , ثم قال : لا جوار إلا في مسجد مكة , و مسجد المدينة .
Artinya :
" Tidak ada I'tikaf kecuali dia masjid jami' , kemudian Atho' berkata :
Tidak ada I'tikaf kecuali di masjid makkah , tidak ada I'tikaf kecuali di
masjid madinah " .
Dan dalam atsar yang lain , Ibnu Juraij berkata :
" Aku berkata kepada Atho' : "Bagaimana dengan masjid Iliya' ?"
, dia berkata : "Tidak dilaksanakan I'tikaf kecuali di masjid makkah dan
masjid madinah .
2 (dua) atsar ini adalah atsar yang shohih , akan tetapi
keduanya telah menyelisihi hadits Hudzaifah bin Al Yaman – sebagaimana yang
kamu lihat – dalam meninngalkan I'tikaf di masjid Al Aqsho – Ilya' – yang
menunjukkan bahwa hujjah menurut Atho' bukan dengan hadits ini , karena kalau
seandainya Atho' berhujjah dengan hadits tersebut , dia akan mengatakan
bolehnya I'tikaf di masjid Al Aqsho , dan ketika perkaranya sesuai yang kami
jelaskan , maka jelaslah bahwa hal tersebut adalah pendapat Atho' bin Abi Rabah
, dan ijtihad beliau , ijtihad beliau ini tertolak dengan keumuman firman Allah
ta'ala :
ولا
تباشروهن و أنتم عاكفون في المساجد .(البقرة : 187) .
Artinya : :
Dan janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf dalam masjid. (Q.S
Al Baqarah ; 187) .
Dan juga dengan atsar Ummul Mukminin Aisyah –
radhiallahu anha - , bahkan dalam hadits Hudzaifah menunjukkan adanya
pengingkaran Ibnu Mas'ud terhadap pendapat Hudzaifah dan penyanggahannya
terhadapnya .
Dan
perkataan tabi'in tidak wajib diikuti , lebih-lebih apabila menyelisihi dalil .
Dan pendapat bahwa bolehnya beri'tikaf di selain 3 (tiga) masjid tersebut ,
adalah perkataan para imam yang terpercaya – rahimahumullah - .
[1].Hadits shohih dikeluarkan oleh Bukhari
1/344, Muslim 2/831, Abu Dawud no hadits 2462 dari jalan Aqil bin Kholid, dari
Zuhri, dari Urwah, dari Aisyah - radhiallahu anha -.
[2] .Hadits shohih
dikeluarkan oleh Bukhari 2/65, Muslim 2/830, Abu Dawud no hadits 2465, Ibnu
Majah no hadits 1773 dari jalan Yunus bin Yazid, dari Nafi', dari Ibnu Umar –
Radhiallahu anhu - ).
[4] .Hadis shohih
dikeluarkan oleh sekelompok ulama dari jalan nafi', dari ibnu 'umar, dari 'umar
- Radhiallahu 'Anhu -.Dan hadits ini terdapat didalam shohih Bukhari 2/69 - 70
[5] .Hadits shohih dikeluarkan oleh Abu Dawud no
hadits 2473 , Baihaqi dalam Al Kubro 4/321 dari jalan Abdurrahman bin Ishaq ,
dari Zuhri , dari Urwah , dari Aisyah - radhiallahu anha -.
[6].yaitu hadits yang
dikeluarkan oleh Abu Dawud no hadits 2474 dari jalan : Abdullah bin Budail ,
dari Amru bin Dinar , dari Ibnu Umar : Bahwasanya Umar - radhiallahu anhu -
menetapkan untuk dirinya, beri'tikaf pada masa
jahiliyyah selama 1 (satu) malam – 1 (satu) hari – di ka'bah , kemudian dia
bertanya kepada Nabi , kemudian Nabi menjawab : "Beri'tikaf dan
berpuasalah" .
Saya (muallif) mengatakan :
Dan ini adalah riwayat yang mungkar , Abdullah bin Budail telah menyelisihi
hadits yang mahfudz dari Ibnu Umar tentang kejadian ini , dan Abdullah bin
Budail ini adalah orang yang dhoiful
hadits(lemah haditsnya). Dan hadits ini telah didhoifkan oleh Daruquthni , Ibnu
Adi , dan Al Hafidz Ibnu Hajar).
[7].Dalam
Mushonnaf Abdurrazzaq 4/353 , Ibnu Abi Syaibah 2/333.
[8].Dalam Mushonnaf Abdurrazzaq dari riwayat
Atho' bin Abi Rabah dari Ibnu Umar , dan Atho tidak pernah mendengar dari Ibnu
Umar , akan tetapi hanya melihatnya sekali.
[9].Lihat kitab Ar Riwayataini Wal wajhaini
1/267. Dan juga lihat kitab Masail Ishaq bin Ibrahim bin Hani' An Naisaburi no
676
[10].Lihat Fathul Bari 4/323.
[11] .Hadits syadz
adalah Seorang Perawi hadits yang
makbul(diterima) haditsnya, menyelisihi riwayat seorang perawi yang lebih
tinggi kedudukannya.
0 komentar:
Posting Komentar