Lidah
adalah anggota badan yang benar-benar perlu dijaga dan dikendalikan.
Sesungguhnya lidah adalah penerjemah hati dan pengungkap isi hati. Oleh
karena itulah, setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan istiqamah,
beliau mewasiatkan untuk menjaga lisan. Dan lurusnya lidah itu
berkaitan dengan kelurusan hati dan keimanan seseorang. Di dalam Musnad Imam Ahmad dari Anas bin Malik , dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,
لَا يَسْتَقِيمُ إِيمَانُ عَبْدٍ حَتَّى يَسْتَقِيمَ قَلْبُهُ وَلَا
يَسْتَقِيمُ قَلْبُهُ حَتَّى يَسْتَقِيمَ لِسَانُهُ وَلَا يَدْخُلُ رَجُلٌ
الْجَنَّةَ لَا يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَائِقَهُ
Iman seorang hamba tidak akan
istiqamah, sehingga hatinya istiqamah. Dan hati seorang hamba tidak akan
istiqamah,
sehingga lisannya istiqamah. Dan orang yang tetangganya
tidak aman dari kejahatan-kejahatannya, tidak akan masuk surga. (H.R. Ahmad, no. 12636, dihasankan oleh Syaikh Salim Al-Hilali di dalam Bahjatun Nazhirin, 3/13).
Dan di dalam Tirmidzi (no. 2407) dari Abu Sa’id Al-Khudri, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا أَصْبَحَ ابْنُ آدَمَ فَإِنَّ الْأَعْضَاءَ كُلَّهَا تُكَفِّرُ
اللِّسَانَ فَتَقُولُ اتَّقِ اللَّهَ فِينَا فَإِنَّمَا نَحْنُ بِكَ فَإِنْ
اسْتَقَمْتَ اسْتَقَمْنَا وَإِنْ اعْوَجَجْتَ اعْوَجَجْنَا
Jika anak Adam memasuki pagi hari
sesungguhnya semua anggota badannya berkata merendah kepada lesan,
“Takwalah kepada Allah di dalam menjaga hak-hak kami, sesungguhnya kami
ini tergantung kepadamu. Jika engkau istiqaomah, maka kami juga
istiqamah, jika engkau menyimpang (dari jalan petunjuk), kami juga
menyimpang. (H.R. Tirmidzi, no. 2407; dihasankan oleh Syaikh Salim Al-Hilali di dalam Bahjatun Nazhirin, 3/17, no. 1521) (Jami’ul ‘Uluum wal Hikam, 1/511-512)
Oleh karena itulah, sepantasnya seorang
mukmin menjaga lidahnya. Tahukah Anda jaminan bagi orang yang menjaga
lidahnya dengan baik? Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ يَضْمَنْ لِي مَا بَيْنَ لَحْيَيْهِ وَمَا بَيْنَ رِجْلَيْهِ أَضْمَنْ لَهُ الْجَنَّةَ
Siapa yang menjamin untukku apa
yang ada di antara dua rahangnya dan apa yang ada di antara dua kakinya,
niscaya aku menjamin surga baginya. (H.R. Bukhari, no. 6474; Tirmidzi, no. 2408; lafazh bagi Bukhari).
Beliau juga menjelaskan, bahwa menjaga lidah merupakan keselamatan.
عَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا
النَّجَاةُ قَالَ أَمْلِكْ عَلَيْكَ لِسَانَكَ وَلْيَسَعْكَ بَيْتُكَ
وَابْكِ عَلَى خَطِيئَتِكَ
Dari ‘Uqbah bin ‘Aamir, dia
berkata, “Aku bertanya, wahai Rasulallah, apakah sebab keselamatan?”
Beliau menjawab, “Kuasailah lidahmu, hendaklah rumahmu luas bagimu, dan
tangisilah kesalahanmu”. (H.R. Tirmidzi, no.2406)
Yaitu janganlah engkau berbicara
kecuali dengan perkara yang membawa kebaikanmu, betahlah tinggal di
dalam rumah dengan melakukan ketaatan-ketaatan, dan hendaklah engkau
menyesali kesalahanmu dengan cara menangis. (Lihat Tuhfatul Ahwadzi Syarh Sunan Tirmidzi).
Imam An-Nawawi rahimahullah (wafat 676 H) berkata, “Ketahuilah, sepantasnya bagi setiap mukallaf (orang yang berakal dan baligh) menjaga lidahnya dari seluruh perkataan, kecuali perkataan yang jelas mashlahat padanya. Ketika berbicara atau meninggalkannya itu sama mashlahat-nya, maka menurut Sunnah adalah menahan diri darinya. Karena perkataan mubah bisa menyeret kepada perkataan yang haram atau makruh.
Bahkan, ini banyak atau dominan pada kebiasaan. Sedangkan keselamatan
itu tiada bandingannya. Telah diriwayatkan kepada kami di dalam dua Shahih, Al-Bukhari (no. 6475) dan Muslim (no. 47), dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ
“Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah dia berkata yang baik atau diam.”
Aku katakan: hadits yang disepakati shahihnya ini merupakan nash yang jelas bahwa sepantasnya seseorang tidak berbicara, kecuali jika perkataan itu merupakan kebaikan, yaitu yang nampak mashlahat-nya. Jika dia ragu-ragu tentang timbulnya mashlahat, maka dia tidak berbicara.
Dan Imam Asy-Syafi’i telah berkata, ‘Jika seseorang menghendaki berbicara, maka sebelum dia berbiacra hendaklah berpikir, jika nampak jelas mashlahat-nya dia berbicara, dan jika dia ragu-ragu, maka dia tidak berbicara sampai jelas mashlahat-nya.’” [Al-Adzkaar, 2/713-714, karya Imam An-Nawawi, tahqiiq dan takhriij Syaikh Salim Al-Hilaali, penerbit Dar Ibni Hazm, cet. 2, th. 1425 H / 2004 M].
Selain itu, bahwa lidah merupakan alat
yang mengungkapkan isi hati. Jika Anda ingin mengetahui isi hati
seseorang, maka perhatikanlah gerakan lidahnya, isi pembicaraannya, hal
itu akan memberitahukan isi hatinya, baik orang tersebut mau atau
enggan.
Diriwayatkan bahwa Yahya bin Mu’adz
berkata, “Hati itu seperti periuk yang mendidih dengan isinya, sedangkan
lidah itu adalah gayungnya. Maka, perhatikanlah seseorang ketika
berbicara, karena sesungguhnya lidahnya itu akan mengambilkan untukmu
apa yang ada di dalam hatinya, manis, pahit, tawar, asin, dan lainnya.
Pengambilan lidahnya akan menjelaskan kepadamu rasa hatinya.” [Hilyatul Au'iyaa', 10/63, dinukil dari Aafaatul Lisaan fii Dhauil Kitab was Sunnah, hlm, 159, karya Dr. Sa'id bin 'Ali bin Wahf Al-Qahthani]
Perkataan Para Salaf Tentang Hifzhul Lisan
Sesungguhnya, para Salaf dahulu biasa
menjaga dan menghisab lidahnya dengan baik. Dan diriwayatkan dari mereka
perkataan-perkataan yang bagus berkaitan dengan lidah dan pembicaraan.
Kami sampaikan di sini sebagiannya agar kita dapat memetik manfaat
darinya.
Diriwayatkan, bahwa ‘Umar bin
Al-Khaththab berkata, “Barangsiapa banyak pembicaraannya, banyak pula
tergelincirnya. Dan barangsiapa banyak tergelincirnya, banyak pula
dosanya. Dan barangsiapa banyak dosa-dosanya, neraka lebih pantas
baginya.” [Riwayat Al-Qudhai di dalam Musnad Asy-Syihab, no. 374; Ibnu Hibban di dalam Raudhatul 'Uqala', hlm. 44. Dinukil dari Jami’ul ‘Ulum wal Hikam,
juz 1, hlm. 339, karya Imam Ibnu Rajab, dengan penelitian Syu’aib
Al-Arnauth dan Ibrahim Bajis; penerbit Ar-Risalah; cet: 5; th: 1414 H/
1994 M]
Diriwayatkan, bahwa Ibnu Mas’ud pernah
bersumpah dengan nama Allah, lalu mengatakan, “Di muka bumi ini, tidak
ada sesuatu yang lebih pantas menerima lamanya penjara daripada lidah!”
[Riwayat Ibnu Hibban di dalam Raudhatul 'Uqala', hlm. 48. Dinukil dari Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, juz 1, hlm. 340]
Diriwayatkan, bahwa Ibnu Mas’ud berkata, “Jauhilah fudhuulul kalam (pembicaraan yang melebihi keperluan). Cukup bagi seseorang berbicara, menyampaikan sesuai kebutuhannya.” [Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, juz. 1, hlm. 339]
Syaqiq mengatakan, “‘Abdullah bin Mas’ud ber-talbiyah
di atas bukit Shofa, kemudian mengatakan, ‘Wahai lidah, katakanlah
kebaikan niscaya engkau mendapatkan keberuntungan, diamlah niscaya
engkau selamat, sebelum engaku menyesal.’ Orang-orang bertanya, ‘Wahai
Abu ‘Abdurrahman, ini adalah suatu perkataan yang engkau ucapkan
sendiri, atau engkau dengar?’ Dia menjawab, ‘Tidak, bahkan aku telah
mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَكْثَرُ خَطَايَا إِبْنِ آدَمَ فِي لِسَانِهِ
‘Mayoritas kesalahan anak Adam adalah pada lidahnya.‘” (HR. Thabarani, Ibnu ‘Asakir, dan lainnya. Lihat Silsilah Ash-Shahihah, no. 534).
Diriwayatkan, bahwa Ibnu Buraidah
mengatakan, “Aku melihat Ibnu ‘Abbas memegangi lidahnya sambil berkata
‘Celaka engkau, katakanlah kebaikan, engkau mendapatkan keberuntungan.
Diamlah dari keburukan, niscaya engkau selamat. Jika tidak, ketahuilah
bahwa engaku akan menyesal.’” [Aafatul Lisaan, hlm. 161]
Diriwayatkan, bahwa An-Nakhai berkata, “Manusia binasa pada fudhuulul maal (harta yang melebihi kebutuhan) dan fudhuulul kalam.” [Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, juz 1, hlm. 339]
Diriwayatkan, bahwa ada seseorang yang
bermimpi bertemu dengan seorang alim besar. Kemudian orang alim itu
ditanya tentang keadaannya, dia menjawab, “Aku diperiksa tentang satu
kalimat yang dahulu aku ucapkan. Yaitu aku dahulu pernah mengatakan,
‘Manusia sangat membutuhkan hujan!’ Aku ditanya, ‘Tahukah engkau, bahwa
Aku (Allah) lebih mengetahui terhadap mashlahat hamba-hamba-Ku?” [Aafatul Lisaan, hlm. 160-161]
Diriwayatkan, bahwa seorang Salaf
mengatakan, “Seorang mukmin itu menyedikitkan omongan dan memperbanyak
amalan. Adapun orang munafik, dia memperbanyak omongan dan menyedikitkan
amalan.”
Diriwayatkan, bahwa seorang Salaf
mengatakan, “Selama aku belum berbicara dengan satu kalimat, maka aku
menguasainya. Namun jika aku telah mengucapkannya, maka kalimat itu
menguasaiku.”
Diriwayatkan, bahwa seorang Salaf
mengatakan, “Diam adalah ibadah tanpa kelelahan, keindahan tanpa
perhiasan, kewibawaan tanpa kekuasaan, Anda tidak perlu beralasan
karenanya, dan dengannya aibmu tertutupi.” [Lihat Hashaaidul Alsun, hlm. 175-176]
Kesimpulannya adalah bahwa kita
diperintahkan berbicara yang baik, dan diam dari keburukan. Jika
berbicara hendaklah sesuai dengan keperluannya. Wallahul Musta’an.
MASHAADIR:
1- Aafaatul Lisaan fii Dhauil Kitab was Sunnah, karya Dr. Sa’id bin ‘Ali bin Wahf Al-Qahthani
2- Al-Adzkaar, karya Imam An-Nawawi, tahqiiq dan takhriij Syaikh Salim Al-Hilaali, penerbit Dar Ibni Hazm, cet. 2, th. 1425 H / 2004 M
3- Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, karya Imam Ibnu Rajab, dengan penelitian Syu’aib Al-Arnauth dan Ibrahim Bajis; penerbit Ar-Risalah; cet: 5; th: 1414 H/ 1994 M)
4- Hashaaidul Alsun, karya Syaikh Husain Al-’Awaisyah, penerbit. Darul Hijrah. Dan lain-lain.
2- Al-Adzkaar, karya Imam An-Nawawi, tahqiiq dan takhriij Syaikh Salim Al-Hilaali, penerbit Dar Ibni Hazm, cet. 2, th. 1425 H / 2004 M
3- Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, karya Imam Ibnu Rajab, dengan penelitian Syu’aib Al-Arnauth dan Ibrahim Bajis; penerbit Ar-Risalah; cet: 5; th: 1414 H/ 1994 M)
4- Hashaaidul Alsun, karya Syaikh Husain Al-’Awaisyah, penerbit. Darul Hijrah. Dan lain-lain.
Penulis: Ustadz Abu Isma’il Muslim Atsari
Artikel www.UstadzMuslim.com
Artikel www.UstadzMuslim.com
0 komentar:
Posting Komentar