Apa hukumnya shalat memakai celana panjang tanpa memakai
jubah/gamis/sarung? Apakah shalatnya tetap sah? Adakah batasan hukum
celana yang sehari-hari kita pakai selain membuang isbal? Jazakumullahu khairan katsira.
Abu Dzar
Alamat: Tangerang
Email: ibnustaxxxx@gmail.com
Alamat: Tangerang
Email: ibnustaxxxx@gmail.com
Al Akh Yulian Purnama menjawab:
Pada asalnya hukum memakai pakaian apapun dibolehkan dalam Islam,
kecuali pakaian-pakaian tertentu yang termasuk dalam dalil-dalil yang
menunjukkan pelarangan. Selain itu
Islam tidak menetapkan model pakaian
tertentu untuk shalat. Selama pakaian tersebut memenuhi syarat maka
boleh dipakai untuk shalat, apapun modelnya.
Dengan demikian, yang perlu kita pegang adalah bahwa hukum asal
memakai celana panjang adalah mubah. Namun para ulama memang membahas
keabsahan shalat orang yang saat shalat dengan memakai celana panjang
pada 2 keadaan berikut:
1. Celana panjang yang dipakai masih menampakkan warna kulit dan menampakkan bentuk tubuh (ketat)
Pada kondisi ini para ulama ijma (bersepakat) bahwa hukumnya
haram dan shalatnya tidak sah. Sebagaimana yang dikatakan oleh Imam An
Nawawi, ulama besar mahdzab Syafi’i, beliau berkata:
لو ستر بعض عورته بشيء من زجاج بحيث ترى البشرة منه لم تصح صلاته بلا خلاف
“Jika sebagian aurat sudah tertutupi dengan sesuatu yang berbahan
kaca, sehingga masih terlihat warna kulitnya, maka tidak sah shalatnya
tanpa ada perbedaan pendapat di antara ulama” (Al Majmu’, 3/173)
Bahkan jika warna kulit hanya terlihat dengan samar, tetap tidak sah
shalatnya. Dijelaskan oleh Ibnu Qudamah, ulama besar mahdzab Hambali,
beliau berkata:
والواجب الستر بما يستر لون البشرة فإن كان خفيفا يبين لون الجلد من
ورائه فيعلم بياضه أو حمرته لم تجز الصلاة فيه لأن الستر لا يحصل بذلك
“Menutup aurat sampai warna kulit tertutupi secara sempurna,
hukumnya wajib. Jika warna kulit masih tampak oleh orang dibelakangnya
namun samar, yaitu masih bisa diketahui warna kulitnya putih atau merah,
maka tidak sah shalatnya. Karena pada kondisi demikian belum dikatakan
telah menutupi aurat” (Al Mughni, 1/651)
2. Celana panjang yang dipakai telah menutupi warna kulit secara sempurna namun masih menampakkan bentuk tubuh (ketat)
Pada kondisi ini terjadi perbedaan pendapat diantara para ulama.
Sebagian ulama mengatakan shalatnya tidak sah. Diantaranya Ibnu Hajar
Al Asqalani, ulama besar mahdzab Syafi’i, beliau berkata:
عن أشهب، فيمن اقتصر على الصلاة في السراويل مع القدرة: يعيد في الوقت، إلا إن كان صفيقاً
“Aku mendengar ini dari Asyhab, bahwa orang yang mencukupkan diri
shalat dengan memakai celana panjang padahal ia sanggup memakai pakaian
yang tidak ketat, ia wajib mengulang shalatnya pada saat itu juga,
kecuali jika ia tidak tahu malu” (Fathul Bari, 1/476)
Tidak sahnya shalat orang yang memakai pakaian ketat juga merupakan
pendapat Syaikh Ibnu Baz, mantan ketua Komite Fatwa Saudi Arabia, ketika
ditanya tentang hal ini beliau menjawab: “Jika celana pantalon ini
menutupi aurat dari pusar sampai seluruh paha laki-laki, longgar
dan tidak ketat, maka sah shalatnya. Namun lebih baik lagi jika di
atasnya dipakai gamis yang dapat menutupi hingga seluruh pahanya, atau
lebih baik lagi sampai setengah betis, karena yang demikian lebih
sempurna dalam menutupi aurat. Shalat memakai sarung lebih baik daripada
memakai celana panjang jika tidak ditambah gamis. Karena sarung lebih
sempurna dalam menutupi aurat” (Majmu’ Fatawa Ibnu Baz , 1/68-69, http://www.ibnbaz.org.sa/mat/2480 )
Dalam penjelasan Syaikh Ibnu Baz ini juga ditegaskan bolehnya shalat dengan memakai celana panjang tanpa ditambah gamis atau sarung, asalkan tidak ketat.
Namun sebagian ulama berpendapat shalatnya tetap sah jika ia telah menutupi warna kulit dengan sempurna walaupun bentuk tubuh masih terlihat (ketat). Sebagaimana pendapat Imam An Nawawi, bahkan beliau membantah ulama yang berpendapat shalatnya tidak sah:
فلو ستر اللون ووصف حجم البشرة كالركبة والألية ونحوهما صحت الصلاة فيه
لوجود الستر ، وحكى الدارمي وصاحب البيان وجها أنه لا يصح إذا وصف الحجم ،
وهو غلط ظاهر
“Jika warna kulit telah tertutupi secara sempurna dan bentuk
tubuh semisal paha dan daging betis atau semacamnya masih nampak,
shalatnya sah karena aurat telah tertutupi. Memang Ad Darimi dan penulis
kitab Al Bayan menyampaikan argumen yang menyatakan tidak sahnya shalat
memakai pakaian yang masih menampakkan bentuk tubuh. Namun pendapat ini
jelas-jelas sebuah kesalahan” (Al Majmu’, 3/173)
Demikian juga pendapat Ibnu Qudamah, beliau menyatakan sahnya shalat
memakai pakaian yang ketat namun beliau tidak menyukai orang yang
melakukan hal tersebut:
وأن كان يستر لونها ويصف الخلقة جازت الصلاة لأن هذا لا يمكن التحرز منه وإن كان الساتر صفيقا
“Jika warna kulit sudah tertutupi dan bentuk tubuh masih nampak,
shalatnya sah. Karena hal tersebut tidak mungkin dihindari (secara
sempurna). Namun orang yang shalat memakai pakaian ketat adalah orang
yang tidak tahu malu” (Al Mughni, 1/651)
Sebagian ulama juga berpendapat shalatnya sah namun pelakunya berdosa
dikarenakan memakai baju ketat. Sebagaimana pendapat Syaikh Shalih
Fauzan Al Fauzan hafizhahullah, ulama besar di Saudi Arabia
saat ini, beliau berkata: “Baju ketat yang masih menampakkan bentuk
tubuh wanita, baju yang tipis dan terpotong pada beberapa bagian, tidak
boleh memakainya. Baju ketat tidak boleh digunakan oleh laki-laki maupun
wanita, terutama bagi wanita, karena fitnah wanita lebih dahsyat.
Adapun keabsahan shalatnya tergantung bagaimana pakaiannya. Jika pakaian
ketat ini dipakai seseorang untuk shalat, dan telah cukup untuk
menutupi auratnya, maka shalatnya sah karena aurat telah tertutup. Namun
ia berdosa karena memakai pakaian ketat. Sebab pertama, karena dengan
pakaian ketatnya, ia telah meninggalkan hal yang disyariatkan dalam
shalat, ini terlarang. Sebab kedua, memakai baju ketat dapat mengundang
fitnah karena membuat orang lain memalingkan pandangan kepadanya,
apalagi wanita.” (Muntaqa Fatawa Shalih Fauzan, 3/308-309)
Dari beberapa penjelasan diatas, dapat kita simpulkan bahwa letak
perbedaan pendapat di antara para ulama adalah dalam memutuskan apakah
memakai pakaian ketat dalam shalat itu sudah termasuk menutup aurat atau
tidak. Dengan demikian ini adalah perkara khilafiyyah ijtihadiyyah, yang masing-masing pendapat dari ulama tersebut harus dihormati.
Namun yang paling baik adalah menghindari hal yang diperselisihkan
dan mengamalkan hal yang sudah jelas bolehnya. Sehingga memakai pakaian
yang longga dan lebar hingga tidak menampakkan warna kulit dan tidak
menampakkan bentuk tubuh adalah lebih utama.
Kemudian perlu digarisbawahi, seluruh penjelasan di atas berlaku bagi
setiap orang yang memiliki kemampuan dalam pakaian, ia berkecukupan
dalam berpakaian dan mampu mengusahakan untuk memiliki pakaian yang
longgar dan tidak ketat. Adapun orang yang tidak berkemampuan untuk
berpakaian yang longgar, misalnya orang miskin yang hanya memiliki
sebuah pakaian saja, atau orang yang berada dalam kondisi darurat
sehingga tidak mendapatkan pakaian yang longgar, maka shalatnya sah dan
ia tidak berdosa. Berdasarkan hadits dari Jabir bin Abdillah yang
menceritakan dirinya ketika hanya memiliki sehelai kain untuk shalat,
maka RasulullahShallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
إِنْ كَانَ الثَّوْبُ وَاسِعاً فَالْتَحِفْ بِهِ وَإِنْ كَانَ ضَيِّقاً فَأتَّزِرْ بِهِ
“Jika kainnya lebar maka gunakanlah seperti selimut, jika kainnya sempit maka gunakanlah sebagai sarung” (HR. Bukhari no.361)
Allah Ta’ala juga berfirman:
فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ
“Bertakwalah kalian semampu kalian” (QS. At-Taghabun 16 )
Demikian penjelasan kami. Wallahu’alam.
—
Penulis: Yulian Purnama
Murajaah: Ustadz Kholid Syamhudi, Lc.
Artikel UstadzKholid.Com
Murajaah: Ustadz Kholid Syamhudi, Lc.
Artikel UstadzKholid.Com
0 komentar:
Posting Komentar