Assalamu’alaikum wa rahmatullahi wa barakatuhu
Ustadz yang ana hormati, saya seorang janda yang berumur 28 tahun,
punya 1 anak. Saya sekarang bekerja di negeri seberang, 2 tahun yang
lalu saya diperkenalkan dengan seorang ikhwan yang bekerja di negeri
jiran. Yang memperkenalkan saya adalah adik ikhwan tersebut melalui
ponsel.
Menurut adiknya, ikhwan tersebut seorang aktivis dia juga jebolan
pondok pesantren modern (Gontor). Saya simpati sama dia karena dia
orangnya baik. Dengan perkenalan itu, akhirnya saya juga
semangat
belajar tentang agama. Subhanallah, sedikit-dikit saya mengetahui sunnah-sunnah Nabi, Hadits, Fikih, karena sebelumnya saya berasal dari keluarga awam.
Lama kelamaan di antara kami ada rasa suka. Akhirnya ikhwan tersebut
pulang ke kampung halaman, beberapa bulan kemudian ikhwan tersebut
bersilaturahim ke rumah saya, keluarga saya tahu hubungan kami. Tapi, keluarga saya tidak menyetujui, alasannya perbedaan umur. Dia jauh lebih tua dari pada saya perbedaannya antara 10 tahun lebih. Bagi saya tak ada masalah.
Keluarga saya sangat takut, jika saya menikah dengan dia akan menimbulkan fitnah dunia, karena ejekan dari tetangganya.
Selain itu ada seorang ikhwan yang sedang menunggu saya di rumah.
Karena sebentar lagi saya juga mau pulang kampung. Ustadz, apa yang
harus saya lakukan setelah pulang nanti? Jika saya teruskan hubungan
dengan ikhwan tersebut, saya takut akan menimbulkan fitnah dunia, dan
keluargaku tak ada yang setuju. Dan jika saya mundur, berarti saya
menzhalimi dia, karena dia mengharapkan saya jadi pedampingnya.
Dan apa yang harus saya katakan kepada ikhwan yang sedang menunggu
saya di rumah, jika sementara ini saya masih ingin sendiri? Atas
jawabannya saya ucapkan terimakasih.
Wassalamu ‘alaikum wa rahmatullahi wabarakatuhu.
SDM Di Bumi Allah
Jawaban:
Waalikumsalam warahmatullah wabarokatuh.
Bismillahirrahmanirrahim
Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semoga
tercurahkan kepada Nabi kita Muhammad, keluarganya, para sahabatnya dan
orang-orang yang senantiasa setia mengikuti ajarannya yang lurus hingga
hari kiamat.
Saudariku yang dirahmati Allah, pernikahan adalah sebuah bentuk usaha
berkeluarga dan berketurunan yang dihalalkan Allah dengan cara
menyatukan dua keluarga dalam sebuah ikatan silaturahmi yang
menentramkan satu sama lain dan membahagiakan semua pihak. Karenanya,
untuk tegaknya sebuah pernikahan yang memberi sakinah, mawaddah warahmah,
maka hendaklah ada beberapa pihak yang dimintai persetujuan dan diajak
bermusyarawah. Dalam hal ini yang paling utama adalah kedua orang tua
(ayah dan ibu), lalu jika tidak ada ayah karena telah meninggal, maka
pihak wali nikah, yaitu pengganti ayah (yang jalur hukumnya sama
kedudukannya dengan ayah).
Adapun keluarga anda tidak menyetujui hubungan dan keinginan anda
untuk menikah dengan ikhwan yang anda pandang baik dengan alasan
perbedaan umur yang cukup jauh maka ini tidak dibenarkan dalam syariat
Islam. Karena dalam berumah tangga sebenarnya tidak ada patokan yang
pasti untuk menilai jarak usia yang ideal bagi suami atau isteri, karena
berapapun jarak usianya jika keduanya mampu menyeimbangkan perbedaan
yang ada maka rumah tangga itu dapat langgeng jalannya.
Sebagaimana dahulu Rasulullah shallahu alaihi wasallam,
beliau pernah menikah dengan wanita yang jauh lebih tua seperti Khodijah
binti Khuwailid, dan beliau juga pernah menikah dengan wanita yang jauh
lebih muda yaitu Aisyah binti Abu Bakar Ash-Shiddiq. Dan kehidupan
rumah tangga mereka berjalan harmonis dan langgeng sampai akhir hayat.
Hal tersebut karena Rasulullah dan isterinya mampu menyesuaikan diri
sehingga dapat menjembatani perbedaan yang disebabkan oleh usia.
Oleh karena itu, hendaklah anda menjelaskan dengan cara yang baik
kepada keluarga anda (khususnya kedua orang tua), bahwa perbedaan umur
yang cukup jauh antara calon suami dan calon istri bukanlah suatu aib
dan kendala untuk berlangsungnya hubungan pernikahan. Apalagi jika
laki-laki yang anda hendak menjadikannya sebagai suami atau pemimpin
keluarga adalah orang yang baik agama dan akhlaknya, dan anda juga telah
mencintainya. Hanya saja ada beberapa hal yang belum dapat kami fahami
dengan jelas dari apa yang anda ceritakan, diantaranya ialah:
Perkataan anda, ‘Keluarga saya sangat takut, jika saya menikah dengan dia akan menimbulkan fitnah dunia, karena ejekan dari tetangganya’.
Apa yang anda maksud dengan fitnah dunia? Apakah maksudnya akan adanya
ejekan dari tetangga kepada keluarga anda bila anda menikah dengan
laki-laki yang usianya berbeda jauh lebih tua dari anda, atau bagaimana?
Adapun perasaan anda telah menzholimi ikhwan (laki-laki) yang telah
mengharapkan anda menjadi pendamping hidupnya tersebut apabila mundur
atau tidak jadi nikah dengannya, maka sesungguhnya –menurut pandangan
kami- perasaan ini tidaklah benar, karena yang namanya kezholiman itu
ialah menempatkan sesuatu bukan pada tempatnya atau mengambil dan
mengurangi hak orang lain tanpa alasan yang benar menurut syariat atau
meninggalkan kewajiban. Sedangkan mengambil sikap mundur atau tidak jadi
menikah dengannya karena ada beberapa pertimbangan seperti diantaranya
lebih memprioritaskan menjaga perasaan hati orang tua, memelihara
kerukunan diantara keluarga anda dan lain sebagainya maka menurut kami
bukan termasuk perbuatan zholim. Apalagi hubungan anda dengannya baru
sebatas perkenalan dan adanya kecenderungan hati untuk menikah
dengannya, belum ada ikatan atau janji apapun yang wajib ditepati.
Kemudian, kami juga ingin bertanya terlebih dahulu pada anda, apakah
ikhwan (laki-laki) yang menanti anda di rumah telah memiliki hubungan
atau keterikatan yang lebih jauh dari sebatas perkenalan? Ataukah
mungkin ikhwan tersebut telah menjadi pilihan keluarga anda untuk
dinikahkan dengan anda? Kalau memang demikian keadaannya, sementara anda
sendiri tidak merasa cinta padanya, maka sampaikanlah perasaan anda
yang sebenarnya kepada keluarga anda dengan cara yang baik agar mereka
dapat memahami dan menerima alasan anda. Karena menikah dengan orang
yang tidak anda cintai itu justru akan menimbulkan berbagai macam
problema yang lebih besar dalam kehidupan rumah tangga. Sedangkan
diantara syarat sahnya pernikahan ialah adanya keridhoan dari kedua
belah pihak, calon suami dan calon istri, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang diriwayatkan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu secara marfu’:
لاَ تُنْكَحُ اْلأَيِّمُ حَتَّى تُسْتَأْمَرَ وَلاَ تُنْكَحُ الْبِكْرُ حَتَّى تُسْتَأْذَنَ
“Tidak boleh seorang janda dinikahkan hingga ia diajak
musyawarah/dimintai pendapat, dan tidak boleh seorang gadis dinikahkan
sampai dimintai izinnya.” (HR. Al-Bukhari no. 5136 dan Muslim no. 3458)
Jadi, orang tua atau wali tidak sepantasnya memaksakan kehendaknya
kepada anak gadisnya agar menikah dengan laki-laki yang tidak
dicintainya. Jika ini dilakukan maka wali atau orang tua berdosa. Ini
berdasarkan hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha: “Seorang remaja
putri datang menemui Aisyah lalu berkata: “Ayahku menikahkan aku dengan
anak saudaranya agar kerendahan (martabat)nya dapat terangkat, padahal
aku tidak suka”. Aisyah berkata: “Duduklah sampai Rasulullah datang”.
Tidak berapa lama datanglah Rasulullah, remaja putri inipun menceritakan
halnya kepada beliau. Maka beliau mengutus seseorang untuk memanggil
ayahnya. Pada akhirnya beliau menyerahkan urusan pada remaja putri itu.
Iapun berkata: “Wahai Rasulullah, saya dapat menerima apa yang diperbuat
ayah saya, hanya saya ingin tahu apakah wanita mempunyai suatu
kewenangan (dalam hal ini).” (Hadits Shahih riwayat An-Nasai (VI/87), Ibnu Majah no. 1874, Ahmad (VI/136), Ad-Daraquthni (III/232-233), Al-Baihaqi (VII/118) dari jalur Abdullah bin Buraidah dari Aisyah).
Kemudian kami agak bingung juga memahami apa yang anda ungkapkan, di
satu sisi anda merasa berbuat zholim kepada ikhwan yang anda cintai dan
telah mengenalnya di negeri Jiran apabila mengambil sikap mundur atau
tidak jadi menikah dengannya. Namun di sisi lain anda merasa bingung mau
mengatakan apa kepada ikhwan yang telah menunggu anda di rumah dengan
alasan masih ingin sendiri (belum ingin menikah). Dua pernyataan ini
Nampak kontradiksi. Tetapi kemungkinan kalau tidak keliru –wallahu a’lam-
kami memahami bahwa hati anda lebih cenderung kepada ikhwan yang pernah
mengajari anda ilmu agama daripada ikhwan yang menanti anda di rumah.
Kalau memang demikian, maka sebaiknya anda mengungkapkan kepadanya
(ikhwan yang menanti anda di rumah) baik secara langsung atau dengan
perantara orang lain yang anda percaya bahwa anda untuk saat ini belum
bersedia menikah dengannya. Ini kami pandang perlu dilakukan supaya
ikhwan tersebut mendapat kepastian jawaban dari anda dan ia bisa segera
mencari akhwat pilihan lain yang hendak dijadikan pendamping hidupnya.
Kemudian, di sini kami ingin nasehatkan kepada para orang tua atau
wali perempuan agar mereka segera menikahkan anak-anak gadis mereka
dengan laki-laki yang sholih dan bertakwa. Sebab lelaki seperti itu bila
ternyata mencintai anak gadisnya tentu memuliakannya, dan jika
membencinya tidaklah menghinakannya. Berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam:
إِذَا جَاءَكُمْ مَنْ تَرْضَوْنَ دِينَهُ وَخُلُقَهُ فَأَنْكِحُوهُ إِلاَّ تَفْعَلُوا تَكُنْ فِتْنَةٌ فِى الأَرْضِ وَفَسَادٌ
“Jika datang melamar anak gadismu seorang laki-laki yang engkau
ridhoi agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah ia (dengan anak gadismu
itu). Jika tidak, pasti akan terjadi fitnah (kekacauan) di muka bumi dan
kerusakan yang besar.” [HR. At-Tirmidzi IV/364 no.1108 dan Ath-Thabrani di dalam Al-Mu’jam Al-Kabir XVI/164 no.18213]
Demikian yang dapat kami sampaikan. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bish-showab.
[Telah dimuat dalam majalah Nikah SAKINAH volume 8 no. 11 tanggal 15 Februari 2009 – 15 Maret 2010]
Sumber : http://abufawaz.wordpress.com
0 komentar:
Posting Komentar