فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَن تَكْرَهُواْ شَيْئاً وَيَجْعَلَ اللّهُ فِيهِ خَيْراً كَثِيراً
Kemudian jika kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena
mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya
kebaikan yang banyak. (QS. An Nisaa: 19)
Berkata Ibnul Jauzi, “Ayat ini menganjurkan untuk menahan istri
(tidak menceraikannya) meskipun sang suami membencinya.
Dan ayat ini
mengingatkan dua perkara, yang pertama bahwasanya seorang manusia tidak
mengetahui mana-mana saja tempat kebaikan. Betapa banyak
perkara yang
dibenci kemudian membawa kebaikan dan betapa banyak perkara yang dipuji
kemudian menjadi perkara yang dicela. Perkara yang kedua bahwasanya
seseorang hampir-hampir tidak bisa menemukan sesuatu yang disukainya
tanpa disertai dengan sesuatu yang dibencinya, oleh karena itu hendaknya
ia bersabar atas apa yang dibencinya karena perkara yang dicintainya.
[Zaadul Masiir II/42]
Berkata Az-Zamakhsyari Al-Mu’tazili, “Janganlah kalian menceraikannya
karena hanya sekedar jiwa kalian tidak menyukainya, karena terkadang
jiwa itu membenci sesuatu yang lebih baik bagi agamanya dan lebih
terpuji serta lebih dekat kepada kebaikan, dan terkadang jiwa itu
menyukai sebaliknya. Oleh karena itu hendaknya yang diperhatikan adalah
sebab-sebab kebaikan” [Al-Kassyaaf I/522]
Berkata Al-Qodhi Abu Muhammad, “Dan diantara kefasihan Al-Qur’an
yaitu adanya faedah keumuman pada kalimat شَيْئاً (sesuatu), karena hal
ini (Allah menjadikan kebaikan) berlaku pada setiap apa yang dibenci
oleh seseorang yang menjadikannya bersabar atas kebencian tersebut, lalu
iapun bersabar dengan baik karena akhirnya (akibatnya) adalah kebaikan,
jika ia bersabar karena menginginkan wajah Allah” [Al-Muharror
Al-Wajiiz II/28]
Berkata Mujahid, “Mungkin saja Allah menjadikan kebaikan yang banyak di balik kebencian tersebut” [Ad-Dur Al-Mantsur II/465]
Dalam ayat ini Allah menjanjikan bahwa barang siapa yang bersabar
menghadapi istrinya yang ia benci (selama istrinya tidak berzina) maka
niscaya Allah akan menganugrahkan kepadanya banyak kebaikan dibalik
kesabarannya dengan catatan kesabarannya tersebut karena mengharapkan
wajah Allah.
Berkata Al-Qurthubi, “Jika kalian membencinya karena buruknya
akhlaknya namun ia tidak melakukan perzinahan atau membangkang suami
maka keadaan seperti ini dianjurkan agar sang suami bersabar, mungkin
saja akhirnya Allah akan menganugrahinya dari istrinya tersebut
anak-anak yang sholeh” [Tafsir Al-Qurthubi V/98, demikian juga perkataan
Ibnul Arobi (Ahkamul Qur’an I/468)]
Ibnu Abbas berkata, “Yaitu sang suami bersikap lembut kepadanya lalu
Allah memberikan rezki kepadanya seorang anak dari wanita tersebut, lalu
Allah menjadikan banyak kebaikan pada anak tersebut” [Ad-Dur Al-Mantsur
II/465]
Bisa jadi juga kebencian yang ia lihat dari istrinya adalah di
awal-awal pernikahan, namun jika setelah beberapa tahun mereka berdua
menjalani kehidupan rumah tangga maka akan nampaklah kasih sayang
istrinya kepadanya dan ketaatannya kepadanya di kemudian hari.
Berkata Ad-Dhohhak, “Jika terjadi pertengkaran antara seseorang dan
istrinya maka janganlah ia bersegera untuk mencerainya, hendaknya ia
bersabar terhadapnya, mungkin Allah akan menampakkan dari istrinya apa
yang disukainya” [Ad-Dur Al-Mantsur II/465]
Berkata Al-Alusi, “… atau kasih sayang yang nampak setelah kebencian” [Ruuhul Ma’ani IV/243]
Kemudian hendaknya sang suami merenungkan bahwa tidaklah musibah
menimpanya kecuali karena kamaksiatan yang dilakukannya, kemudian
musibah tersebut akan menjadi penghapus dosa-dosanya. Dan bisa jadi
istri yang dibencinya itu merupakan musibah yang menimpanya karena
maksiat yang dilakukannya. Jika ia tidak sabar dengan musibah tersebut
bisa jadi Allah akan memberikan kepada dia musibah lain yang lebih berat
baginya.
Berkata Ibnul Arobi, “…Syaikh Abu Muhammad bin Abi Zaid memiliki
kedudukan yang tinggi dalam ilmu dan agama. Ia memiliki istri yang buruk
akhlaknya dan tidak menunaikan kewajiban-kewajibannya dengan baik,
bahkan ia menyakiti Syaikh dengan perkataan-perkataannya. Orang-orangpun
menegur Syaikh tentang kelakuan istrinya namun ia meneruskan
kesabarannya. Syaikh berkata, “Aku adalah seorang lelaki yang telah
dikarunai nikmat yang sempurna oleh Allah berupa kesehatan tubuh, ilmu,
dan budak-budakku, mungkin saja istriku itu diutus (untukku) sebagai
hukuman bagiku karena (kurangnya) agamaku, dan aku takut jika aku
mencerainya maka akan turun hukuman lain yang lebih parah” [Ahkamul
Qur’an I/468-469]
Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ إِبْلِيْسَ يَضَعُ عَرْشَهُ عَلَى الْمَاءِ ثُمَّ يَبْعَثُ
سَرَايَاهُ فَأَدْنَاهُمْ مِنْهُ مَنْزِلَةً أَعْظَمُهُمْ فِتْنَةً
يَجِيْءُ أَحَدُهُمْ فَيَقُوْلُ فَعَلْتُ كَذَا وَكَذَا فَيَقُوْلُ مَا
صَنَعْتَ شَيْئًا قَالَ ثُمَّ يَجِيْءُ أَحَدُهُمْ فَيَقُوْلُ مَا
تَرَكْتُهُ حَتَّى فَرَّقْتُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ امْرَأَتِهِ قَالَ
فَيُدْنِيْهِ مِنْهُ وَيَقُوْلُ نِعْمَ أَنْتَ
“Sesungguhnya Iblis meletakkan singgasananya di atas air (laut)
kemudian ia mengutus bala tentaranya. Maka yang paling dekat dengannya
adalah yang paling besar fitnahnya. Datanglah salah seorang dari bala
tentaranya dan berkata, “Aku telah melakukan begini dan begitu”. Iblis
berkata, “Engkau sama sekali tidak melakukan sesuatupun”. Kemudian
datang yang lain lagi dan berkata, “Aku tidak meninggalkannya (orang
yang ia goda -pent) hingga aku berhasil memisahkan antara dia dan
istrinya. Maka Iblis pun mendekatinya dan berkata, “Sungguh hebat
engkau” [HR Muslim IV/2167 no 2813]
Iblis sangat bangga dengan keberhasilan anak buahnya yang telah
menyebabkan terjadinya perceraian. Syaikh As-Sa’di berkata, “Padahal
kecintaan yang terjalin diantara pasangan suami istri (sangatlah kuat)
tidak bisa disamakan dengan rasa cinta yang ada pada selain keduanya
karena Allah telah berfirman tentang pasangan suami istri وَجَعَلَ
بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً ((Dan Allah menjadikan diantara kalian
rasa cinta dan kasih sayang))” [Taisiir Al-Kariim Ar-Rahmaan I/61]
Oleh karena itu tatkala Allah berfirman
وَاتَّبَعُواْ مَا تَتْلُواْ الشَّيَاطِينُ عَلَى مُلْكِ سُلَيْمَانَ
وَمَا كَفَرَ سُلَيْمَانُ وَلَـكِنَّ الشَّيْاطِينَ كَفَرُواْ يُعَلِّمُونَ
النَّاسَ السِّحْرَ وَمَا أُنزِلَ عَلَى الْمَلَكَيْنِ بِبَابِلَ هَارُوتَ
وَمَارُوتَ وَمَا يُعَلِّمَانِ مِنْ أَحَدٍ حَتَّى يَقُولاَ إِنَّمَا
نَحْنُ فِتْنَةٌ فَلاَ تَكْفُرْ فَيَتَعَلَّمُونَ مِنْهُمَا مَا
يُفَرِّقُونَ بِهِ بَيْنَ الْمَرْءِ وَزَوْجِهِ وَمَا هُم بِضَآرِّينَ بِهِ
مِنْ أَحَدٍ إِلاَّ بِإِذْنِ اللّهِ وَيَتَعَلَّمُونَ مَا يَضُرُّهُمْ
وَلاَ يَنفَعُهُمْ وَلَقَدْ عَلِمُواْ لَمَنِ اشْتَرَاهُ مَا لَهُ فِي
الآخِرَةِ مِنْ خَلاَقٍ وَلَبِئْسَ مَا شَرَوْاْ بِهِ أَنفُسَهُمْ لَوْ
كَانُواْ يَعْلَمُونَ
Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh syaitan-syaitan pada masa
kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan
sihir), padahal Sulaiman tidak kafir (mengerjakan sihir), hanya
syaitan-syaitan itulah yang kafir (mengerjakan sihir). Mereka
mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua
orang malaikat di negeri Babil, yaitu Harut dan Marut, sedang keduanya
tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorang pun sebelum mengatakan,
“Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu). Sebab itu, janganlah kamu
kafir.” Maka mereka mempelajari dari kedua malaikat itu apa yang dengan
sihir itu mereka dapat menceraikan antara seorang (suami) dengan
istrinya. Dan mereka itu (ahli sihir) tidak memberi mudharat dengan
sihirnya kepada seorang pun, kecuali dengan izin Allah. Dan mereka
mempelajari sesuatu yang memberi mudharat kepadanya dan tidak memberi
manfaat. Demi, sesungguhnya mereka telah meyakini bahwa barangsiapa yang
menukarnya (kitab Allah) dengan sihir itu, tiadalah baginya keuntungan
di akhirat, dan amat jahatlah perbuatan mereka menjual dirinya sendiri
dengan sihir, kalau mereka mengetahui. (QS. 2:102)
Allah menyebutkan dalam ayat ini bahwasanya yang dipelajari oleh
mereka dari Harut dan Marut hanyalah ((apa yang dengan sihir itu mereka
dapat menceraikan antara seorang (suami) dengan istrinya)) dan tidak
menyebutkan perkara yang lain. Padahal sihir berpengaruh pada
hubungan-hubungan yang lain diantara manusia. Hal ini disebabkan jika
cinta yang sangat kuat yang terjalin antara suami istri bisa dirusak
dengan sihir maka bentuk-bentuk kecintaan yang lain lebih mudah lagi
untuk dirusak dengan sihir. Oleh karena itu Allah berfirman setelahnya
((Dan mereka itu (ahli sihir) tidak memberi mudharat dengan sihirnya
kepada seorang pun)). [At-Tafsiir Al-Kabiir III/200]
Berkata Al-Munaawi, “Hadits ini menunjukan akan susuatu yang sangat
menakutkan tentang pencelaan terhadap perceraian. Hal ini merupakan
tujuan terbesar Iblis yang terlaknat karena perceraian mengakibatkan
terputusnya keturunan. Dan bersendiriannya anak keturunan Nabi Adam
(tanpa istri atau tanpa suami) akan menjerumuskan mereka ke perbuatan
zina yang termasuk dosa-dosa besar yang paling besar menimbulkan
kerusakan dan yang paling menyulitkan” [Faidhul Qodiir II/408]
Oleh karena itu jika memang sang istri telah dinasehati dengan
melalui tahapan-tahapan yang dianjurkan dan tetap tidak bisa berubah
maka hendaknya seorang suami bersabar sebelum dia menempuh jalan yang
terakhir yaitu cerai
Sumber : (firanda.com)
0 komentar:
Posting Komentar