Mendapatkan jodoh yang sholeh atau
sholihah adalah harapan semua insan di dunia ini dibawah ini sebuah
cerita singkat yang di tulis oleh yatim cahaya insani surabaya dengan
harapan semoga bisa bermanfaat bagi kita semua
Seorang
lelaki yang saleh bernama Tsabit bin Ibrahim sedang berjalan di
pinggiran kota Kufah. Tiba-tiba dia melihat Sebuah apel jatuh keluar
pagar sebuah kebun buah-buahan. Melihat apel yang merah ranum itu
tergeletak di tanah membuat air liur Tsabit terbit, apalagi di hari yang
panas dan tengah kehausan. Maka tanpa berpikir panjang dipungut dan
dimakannyalah buah apel yang lezat itu. akan tetapi baru setengahnya di
makan dia teringat bahwa buah itu bukan miliknya dan dia
belum mendapat ijin pemiliknya. Maka ia segera pergi kedalam kebun buah-buahan itu hendak menemui pemiliknya agar menghalalkan buah yang telah dimakannya.
belum mendapat ijin pemiliknya. Maka ia segera pergi kedalam kebun buah-buahan itu hendak menemui pemiliknya agar menghalalkan buah yang telah dimakannya.
Di kebun itu ia bertemu dengan seorang
lelaki. Maka langsung saja dia berkata, “Aku sudah makan setengah dari
buah apel ini. Aku berharap Anda menghalalkannya”. Orang itu menjawab,
“Aku bukan pemilik kebun ini. Aku Khadamnya yang ditugaskan merawat dan
mengurusi kebunnya”. Dengan nada menyesal Tsabit bertanya lagi, “Dimana
rumah pemiliknya? Aku akan menemuinya dan minta agar dihalalkan apel
yang telah kumakan ini.” Pengurus kebun itu memberitahukan, “Apabila
engkau ingin pergi kesana maka engkau harus menempuh perjalan sehari
semalam”. Tsabit bin Ibrahim bertekad akan pergi menemui si pemilik
kebun itu. Katanya kepada orang tua itu, “Tidak mengapa. Aku akan tetap
pergi menemuinya, meskipun rumahnya jauh. Aku telah memakan apel yang
tidak halal bagiku karena tanpa seijin pemiliknya. Bukankah Rasulullah
Saw sudah memperingatkan kita lewat sabdanya : “Siapa yang tubuhnya
tumbuh dari yang haram, maka ia lebih layak menjadi umpan api neraka”
Tsabit pergi juga ke rumah pemilik kebun
itu, dan setiba di sana dia langsung mengetuk pintu. Setelah si pemilik
rumah membukakan pintu, Tsabit langsung memberi salam dengan sopan,
seraya berkata,” Wahai tuan yang pemurah, saya sudah terlanjur makan
setengah dari buah apel tuan yang jatuh ke luar kebun tuan. Karena itu
maukah tuan menghalalkan apa yang sudah kumakan itu ?” Lelaki tua yang
ada dihadapan Tsabit mengamatinya dengan cermat. Lalu dia berkata
tiba-tiba, “Tidak, aku tidak bisa menghalalkannya kecuali dengan satu
syarat.” Tsabit merasa khawatir dengan syarat itu karena takut ia tidak
bisa memenuhinya. Maka segera ia bertanya, “Apa syarat itu tuan ?” Orang
itu menjawab, “Engkau harus mengawini putriku !”
Tsabit bin Ibrahim tidak memahami apa
maksud dan tujuan lelaki itu, maka dia berkata, “Apakah karena hanya aku
makan setengah buah apelmu yang keluar dari kebunmu, aku harus
mengawini putrimu ?” Tetapi pemilik kebun itu tidak menggubris
pertanyaan Tsabit. Ia malah menambahkan, katanya, “Sebelum pernikahan
dimulai engkau harus tahu dulu kekurangan-kekurangan putriku itu. Dia
seorang yang buta, bisu, dan tuli. Lebih dari itu ia juga seorang yang
lumpuh!”
Tsabit amat terkejut dengan keterangan
si pemilik kebun. Dia berpikir dalam hatinya, apakah perempuan seperti
itu patut dia persunting sebagai istri gara-gara setengah buah apel yang
tidak dihalalkan kepadanya? Kemudian pemilik kebun itu menyatakan lagi,
“Selain syarat itu aku tidak bisa menghalalkan apa yang telah kau makan
!”
Namun Tsabit kemudian menjawab dengan
mantap, “Aku akan menerima pinangannya dan perkawinanya. Aku telah
bertekad akan mengadakan transaksi dengan Allah Rabbul ‘alamin. Untuk
itu aku akan memenuhi kewajiban-kewajiban dan hak-hakku kepadanya karena
aku amat berharap Allah selalu meridhaiku dan mudah-mudahan aku dapat
meningkatkan kebaikan-kebaikanku di sisi Allah Ta’ala”.
Maka pernikahan pun dilaksanakan.
Pemilik kebun itu menghadirkan dua saksi yang akan menyaksikan akad
nikah mereka. Sesudah perkawinan usai, Tsabit dipersilahkan masuk
menemui istrinya. Sewaktu Tsabit hendak masuk kamar pengantin, dia
berpikir akan tetap mengucapkan salam walaupun istrinya tuli dan bisu,
karena bukankah malaikat Allah yang berkeliaran dalam rumahnya tentu
tidak tuli dan bisu juga. Maka iapun mengucapkan salam
,”Assalamu’alaikum…” Tak dinyana sama sekali wanita yang ada
dihadapannya dan kini resmi jadi istrinya itu menjawab salamnya dengan
baik. Ketika Tsabit masuk hendak menghampiri wanita itu , dia
mengulurkan tangan untuk menyambut tangannya . Sekali lagi Tsabit
terkejut karena wanita yang kini menjadi istrinya itu menyambut uluran
tangannya. Tsabit sempat terhentak menyaksikan kenyataan ini.
“Kata ayahnya dia wanita tuli dan bisu
tetapi ternyata dia menyambut salamnya dengan baik. Jika demikian
berarti wanita yang ada dihadapanku ini dapat mendengar dan tidak bisu.
Ayahnya juga mengatakan bahwa dia buta dan lumpuh tetapi ternyata dia
menyambut kedatanganku dengan ramah dan mengulurkan tangan dengan mesra
pula”, Kata Tsabit dalam hatinya. Tsabit berpikir, mengapa ayahnya
menyampaikan berita-berita yang bertentangan dengan yang sebenarnya ?
Setelah Tsabit duduk di samping istrinya , dia bertanya, “Ayahmu
mengatakan kepadaku bahwa engkau buta . Mengapa ?” Wanita itu kemudian
berkata, “Ayahku benar, karena aku tidak pernah melihat apa-apa yang
diharamkan Allah”.
Tsabit bertanya lagi, “Ayahmu juga mengatakan bahwa engkau tuli. Mengapa?”
Wanita itu menjawab, “Ayahku benar, karena aku tidak pernah mau mendengar berita dan cerita orang yang tidak membuat ridha Allah. Ayahku juga mengatakan kepadamu bahwa aku bisu dan lumpuh, bukan ?”
Tanya wanita itu kepada Tsabit yang kini sah menjadi suaminya. Tsabit mengangguk perlahan mengiyakan pertanyaan istrinya. Selanjutnya wanita itu berkata, “aku dikatakan bisu karena dalam banyak hal aku hanya menggunakan lidahku untuk menyebut asma Allah Ta’ala saja. Aku juga dikatakan lumpuh karena kakiku tidak pernah pergi ke tempat-tempat yang bisa menimbulkan kegusaran Allah Ta’ala”.
Wanita itu menjawab, “Ayahku benar, karena aku tidak pernah mau mendengar berita dan cerita orang yang tidak membuat ridha Allah. Ayahku juga mengatakan kepadamu bahwa aku bisu dan lumpuh, bukan ?”
Tanya wanita itu kepada Tsabit yang kini sah menjadi suaminya. Tsabit mengangguk perlahan mengiyakan pertanyaan istrinya. Selanjutnya wanita itu berkata, “aku dikatakan bisu karena dalam banyak hal aku hanya menggunakan lidahku untuk menyebut asma Allah Ta’ala saja. Aku juga dikatakan lumpuh karena kakiku tidak pernah pergi ke tempat-tempat yang bisa menimbulkan kegusaran Allah Ta’ala”.
Tsabit amat bahagia mendapatkan istri
yang ternyata amat saleh dan wanita yang memelihara dirinya. Dengan
bangga ia berkata tentang istrinya, “Ketika kulihat wajahnya…
Subhanallah , dia bagaikan bulan purnama di malam yang gelap”. Tsabit
dan istrinya yang salihah dan cantik itu hidup rukun dan berbahagia.
Tidak lama kemudian mereka dikaruniai seorang putra yang ilmunya
memancarkan hikmah ke seluruh penjuru dunia. Itulah Al Imam Abu Hanifah
An Nu’man bin Tsabit.
0 komentar:
Posting Komentar